JAKARTA – MARITIM ; Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) meminta pemerintah dapat segera memperbaiki berbagai regulasi yang menghambat daya saing industri mebel dan kerajinan nasional.
“Untuk itu, kami mengadakan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) HIMKI, yang membahas berbagai permasalahan yang menghambat daya saing serta solusinya,” kata Sekjen HIMKI, Abdul Sobur, di Jakarta, kemarin.
Berbagai kendala yang dihadapi HIMKI, menurutnya, sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK) yang diberlakukan pemerintah. Hal ini membuat harga bahan baku industri kayu tak kompetitif dibanding negara pesaing seperti Malaysia dan Vietnam. Karena untuk mengurus SVLK dan beberapa ijin pendukungnya membutuhkan biaya yang sangat besar.
“Karena itu, HIMKI telah meminta agar pemerintah menghapus pemberlakuan SVLK, yang penerapan kebijakannya berdampak pada tidak maksimalnya kinerja ekspor nasional. Mengingat rumit dan mahalnya pengurusan dokumen. Padahal, saat ini industri mebel tengah bersaing ketat dengan pelaku industri mebel mancanegara seperti Malaysia, Vietnam, China dan negara-negara produsen di kawasan Eropa dan Amerika,” ungkapnya.
Rapimnas HIMKI kali ini mengusung tema “Meningkatkan Daya Saing Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia dengan Memperbaiki Regulasi yang Menghambat Pertumbuhan Industri Nasional”.
Masalah lain, ada pihak-pihak yang menginginkan dibukanya ekspor log dengan berbagai alasan. Mereka menginginkan ekspor log karena menganggap lebih praktis dan menguntungkan dengan mengekspor bahan baku ketimbang ekspor barang jadi berupa mebel dan kerajinan.
“Adanya rencana membuka kran ekspor log harus dicegah. Karena bahan baku tersebut pada akhirnya akan diekspor habis-habisan seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Apalagi, ekspor bahan baku sangat bertentangan dengan program hilirisasi yang telah dicanangkan pemerintah,” ujar Sobur.
Di sisi lain, adanya desakan dibukanya kran ekspor log dan bahan baku rotan, menimbulkan keresahaan bagi pelaku usaha yang bergerak di bidang barang jadi. Mengingat bahan baku kayu yang ada di Indonesia sangat dibutuhkan oleh para pelaku industri di dalam negeri. Bahkan saat ini sudah semakin susah untuk mendapatkan kayu yang berkualitas. Dengan demikian, apabila kran ekspor bahan baku dibuka akan terjadi penurunan daya saing industri di dalam negeri.
Wacana ekspor kayu log merupakan langkah mundur mengingat pemerintah telah menggalakkan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah dan multiplier effect. Ekspor kayu bulat akan menguntungkan sebagian kecil pelaku usaha di bidang kehutanan, tapi banyak pelaku usaha yang nilai ekspornya tinggi akan kekurangan bahan baku.
Kebijakan ekspor log bertolak belakang dengan kebijakan yang ditempuh banyak negara di dunia sebagai penghasil kayu log seperti Brasil, Amerika Serikat, Ukraina, Malaysia dan lain-lain.
Mengenai inovasi dan pengembangan desain juga dibahas di Rapimnas 2019. Desain dan pengembangan produk sebagai kunci sukses bersaing di pasar global, yaitu dengan tersedianya fasilitas penunjang untuk melakukan kegiatan pengembangan desain (Design Center). (Muhammad Raya)