JAKARTA–MARITIM : Kesejahteraan masyarakat akan sangat bergantung pada seberapa besar pasokan listrik, guna memacu aktivitas bisnis dan investasi di dalam negeri. Ini menjadi tanggung jawab PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, selaku operator yang ditunjuk pemerintah mengelola ketersediaan pasokan energi listrik.
Melihat tugas dan fungsi PLN tersebut, Pakar Hukum Universitas Indonesia Harsanto Nursadi mengaku, dilematis mencermati silang sengketa pembangunan SUTET 500 kV Balaraja antara PLN dengan warga sekitar. “Melihat ini saya menyimpulkan, awalnya dari kurangnya solialisasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) kepada masyarakat. Sebab, implementasi pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional memiliki dampak hukum langsung,” jelas Harsanto, dalam diskusi “Tol Listrik untuk Siapa?”, Selasa (09/02).
Ditengah dilema ini kata Harsanto, PLN sudah selayaknya berkolaborasi dengan Pemerintah Daerah untuk mensosialiasikan RUPTL kepada khalayak umum. Sehingga, masyarakat mengerti tentang maksud dan tujuan pembangunan infrastruktur kelistrikan sebagai Proyek Strategis Nasional.
Sebab, implementasi pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional, memiliki dampak hukum langsung.
Menanggapi kondisi yang ada dalam diskusi tersebut, Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menambahkan, persoalan lain yang dihadapi PLN dalam melakukan percepatan proyek pembangunan tol listrik juga disebabkan oleh rendahnya partisipasi publik. Terutama mengenai pembebasan lahan, sehingga penolakan banyak dilakukan masyarakat.
“Proyek ini demi kepentingan pembangunan, karenanya PLN harus tetap jalan,sebab kaitannya dengan prinsip cost and benefit ,” imbuhnya.
Ia menilai, akar permasalahan saat ini perlu dituntaskan dengan sikap pemerintah pusat dalam memanfaatkan keberadaan Omnibus Law, terutama untuk mengambil alih kewenangan di tingkat pemerintah daerah. Akar persoalan di infrastruktur listrik, yaitu kebijakan pemerintah mau dijalankan atau tidak?.
Untuk itu lanjutnya, harus pemerintah segera memanfaatkan regulasi Omnibus Law dalam upaya melakukan percepatan pembangunan tol listrik (sistem jaringan transmisi listrik). Sejauh ini pelaksanaan proyek infrastruktur ketenagalistrikan kerap tersendat di tingkat pemerintah daerah.
“Daerah juga seharusnya berkolabprasi dengan PT PLN (Persero), bukan berkompetisi antar daerah. Masalah yang dihadapi PLN dalam menjalankan programnya selalu tersendat di lapangan,” ujar Trubus.
Menurut Trubus, pembangunan gardu-gardu induk listrik yang tersebar di level otonomi yang berbeda harus dilakukan PLN berkoordinasi dengan masing-masing kepala pemerintahan di daerah. Akibatnya, rencana pembangunan membutuhkan waktu panjang di fase koordinasi dengan pemda dan masyarakat setempat.
“Sejauh ini banyak kepala daerah yang kurang peka dengan rencana pembangunan sistem transmisi listrik yang terintegrasi, walau pun ada juga yang responsif. Pemerintah pusat bisa menarik kewenangan pemda terkait proyek infrastruktur listrik itu melalui regulasi Omnibus Law,” ungkap Trubus.
Sementara Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa berpendapat, tol listrik merupakan bagian dari proyek percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang terdiri atas pembangkit 35 GW dan transmisi 46 ribu kilometer. Termasuk diantaranya, pengembangan transmisi Sistem Sumatera 775 kv, Grid Borneo 150 kv dan Sistem Sulawesi bertegangan 495 kv.
“Tol listrik diharapkan bisa mengevakuasi daya dari pembangkit-pembangkit ke pusat beban, mengoptimalisasi bauran energi primer dan operasi pembangkit. Sehingga, diharapkan memberi dampak penghematan biaya operasi PLN,” kata Fabby.
Begitu juga, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna mengatakan, seharusnya PLN bisa lebih transparan dalam bersinergi dengan pemda. “Selama ini RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2017-2026) yang dimiliki PLN tidak diketahui oleh pemerintah daerah,” ungkap Yayat.
Padahal tambahnya, saat ini PLN sudah melakukan pemetaan untuk posisi pembangkit dan jalur distribusi listrik di setiap wilayah. “Pemetaan ini hanya PLN yang mengetahui dan belum disosialisasikan,” kata Yayat sembari menyebutkan potensi pasokan listrik terbesar akan menyasar kawasan-kawasan industri.
Dikatakan, selain kawasana industri, tol listrik juga sangat dibutuhkan untuk sektor transportasi, terutama untuk transportasi massal. Banyak tempat akan menerapkan LRT (light rail transit), bagaimana kalau [pemda] tidak tahu pemetaannya? PLN sudah seharusnya penuhi target elektrifikasi 100 persen. Seperti diketahui, silang sengketa pengerjaan proyek Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kilo Volt (kV) jalur Balaraja hingga Kembangan atau tol listrik Jawa, hingga kini masih belum tuntas. Persoalan muncul ketika secara sepihak PLN mengubah rencana pembangunan dari semula menggunakan jalur eksisting 150 kV ke jalur baru. Kala itu, tahun 2017, PLN mengajukan kesesuaian Tata Ruang, SUTT, SUTET dan GI Kabupaten Tangerang kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sebagai Proyek Strategis Nasional.
Atas pengajuan tersebut tambah Yayat, Kementerian ATR/BPN pun memberikan dua rekomendasi, pertama; pengurusan izin untuk dapat dilanjutkan dan kedua, agar pemerintah Kabupaten Tangerang mempercepat penyesuaian rencana tata ruang wilayah daerah untuk mengakomodir rencana pembangunan SUTT, SUTET, dan GI.
Namun hingga pembangunan dijalankan, rekomendai Kementerian ATR/BPN poin kedua tidak pernah dijalankan, dimana sejak 2017 – 2020, PLN tidak pernah mengajukan perubahan RTRW tersebut. Pun Pemerintah Daerah tidak pernah merubah RTRW untuk mengakomodasi kesesuaian tata ruang sebagaimana keinginan PLN. Akibatnya, banyak pihak merasa dirugikan dan berujung pada gugatan masyarakat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN) Jakarta Pusat, awal Januari 2021 yang ditujukan kepada Presiden Jokowi, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dan PT PLN (Persero).
Pasalnya kata dia, langkah PLN mengubah jalur pembangunan SUTET 500 kV Cikupa – Kembangan justru melanggar Perpres No.60 tahun 2020 yang diteken Presiden Jokowi termasuk tentunya melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tangerang. (Rabiatun)