JAKARTA-MARITIM : Meskipun potensi bisnis mebel dan kerajinan di Indonesia cerah, tapi memunculkan kekhawatiran para pengusaha mebel dan kerajinan nasional, mengingat makin berkurangnya bahan baku kayu. Terutama kayu mahoni dan jati yang paling diminati pasar luar negeri. Di sisi lain bahan baku rotan juga sulit didapat.
Terkait itu, pengusaha mebel dan kerajinan dalam wadah Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), mendorong pemerintah menerbitkan aturan seperti Keputusan Presiden (Keppres). Sehingga penanaman kayu perkakas kembali diintensifkan. Sementara untuk bahan baku rotan, HIMKI mengharapkan agar pemerintah bisa menghentikan penyelundupan ekspor bahan baku rotan.
Abdul Sobur, Ketua Presidium HIMKI, mengatakan beralihnya lahan Perhutani menjadi lahan sosial, yang dipinjamkan kepada masyarakat, membuat fungsinya tak lagi menanam kayu perkakas. Tapi tanaman produktif lainnya.
“Karena itu, kami mendorong pemerintah mengeluarkan Keppres, untuk menanam kayu perkakas, seperti mahoni, jati dan lainnya. Dengan harapan produksi tak terhambat dan sekaligus Indonesia bisa menurunkan gas emisinya,” katanya kepada wartawan, di sela-sela acara seminar di Yogyakarta, kemarin.
Tahun ini, HIMKI mencanangkan ekspor industri mebel dan kerajinan dapat terus tumbuh.
“Kami optimis tumbuh, karena Indonesia mempunyai kekuatan bahan kayu dan rotan yang cukup untuk mendukung pertumbuhan. Di tahun 2025, HIMKI memiliki target ekspor US$5 miliar, atau setara Rp80 triliun per tahun,” ungkapnya.
Amerika Serikat (AS) masih menjadi negara tujuan ekspor mebel terbesar Indonesia sepanjang tahun 2021, dengan berkontribusi sebesar 54,04%, diikuti Jepang 7,15%, Belanda 4,95%, dan Jerman 3,82%. Adapun, produk mebel untuk kontribusi ekspor masih ditempati oleh produk Wooden Furniture, yakni 56,60%, diikuti rattan furniture 6,60% dan metal furniture 3,79%.
Untuk ekspor produk kerajinan, AS berkontribusi sebesar 49,35%, diikuti Jepang 7,72%, Malaysia 6,61% dan Belanda 3,89%. Guna mencapai target ekspor, maka ke depannya akan dibutuhkan kenaikan kapasitas produksi tambahan dan terkolerasi terhadap penambahan tenaga, guna menopang target produksi untuk ekspor. Untuk mencapai target ekspor US$5 miliar per tahun pada 2024, maka pertumbuhan yang harus dicapai adalah rata-rata 13,41% per tahun.
Kondisi saat ini mendorong para pengusaha maupun stakeholder untuk melakukan inovasi pengadaan pertumbuhan kayu di Indonesia. Selain itu, perlu juga inovasi untuk meningkatkan industri mebel dan kerajinan.
“Kita perlu mengubah strategi, karena selama ini kita terlalu banyak bergantung ke mahoni, untuk itu harus mulai menggunakan alternatif material lain,” ujar Sobur.
Sementara Adi Dharma Santosa, Wakil Ketua Umum HIMKI Bidang Bahan Baku dan Penunjang, menambahkan masih adanya kendala dan keterbatasan kayu tanaman rakyat.
“Kami merasa khawatir dengan adanya Keputusan Menteri LHK Nomor 287 tahun 2022 terkait Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Karena keputusan ini nantinya ditakutkan mengurangi ketersediaan kayu sebagai bahan baku industri,” ujarnya.
Kebutuhan kayu secara nasional setahun mencapai 10 juta meter kubik. Karena jika merujuk keputusan menteri tadi, ditakutkan ketersediaan kayu lokal akan berkurang dan berpengaruh terhadap industri. Padahal, capaian US$5 miliar dalam kurun waktu dua tahun lagi harus segera terealisasi.
Maskur Zainuri, Wakil Ketua Umum HIMKI Bidang SDM, menjelaskan masih berlangsungnya perang dagang antara AS dan China mendorong signifikan pasar ekspor mebel dan kerajinan Indonesia. Di mana, produksi China terkena pajak yang cukup tinggi untuk masuk AS. Dengan demikian, Indonesia menjadi negara yang mensubtitusi China, terutama untuk furnitur kayu solid dan rotan.
“Untuk itu, kita harus memanfaatkan pengaruh perang dagang AS dan China tersebut, di mana perangnya semakin sengit. Kedua negara ini mulai menekan ekspor, baik dari AS ke China, atau pun dari China ke AS. Jika AS menghambat perdagangan produk ekspor dari negara China, maka hal tersebut memberikan sebuah peluang bagi produk ekspor Indonesia untuk di ekspor ke pasar AS, termasuk di dalamnya produk kayu seperti furniture dan kerajinan,” urainya.
Sedangkan Rian Hermawan, Ketua HIMKI Sleman Raya, menilai pertumbuhan industri kayu dan kerajinan di Sleman pasca pandemi semakin meningkat. Hal itu memberikan dampak positif bagi industri mebel dan kerajinan di Sleman. Daya beli di Sleman yang tinggi adalah kerajinan, kebanyakan pembelinya sampai Eropa dan Amerika yang terbesar.
Menurutnya, produk Sleman baik mebel maupun kerajinan mengalami peningkatan, terbukti pengrajin di Sleman tetap produktif dan penjualan terus naik.
“Kami optimis pertumbuhan industri kayu dan kerajinan di Sleman semakin baik, meski belum normal dan berskala besar, namun hal ini memberikan dampak positif. Kita berharap agar hal positif ini akan terus berjalan, hingga kembali ke titik normal. Dan yang terpenting, jika industri yang skala besar ini hidup, UMKM dan industri penunjang lainnya akan kembali hidup. Sehingga kerja sama antar usaha-kecil terjalin sampai akhirnya nilai ekspor asal Sleman terdongkrak naik,” papar Rian. (Muhammad Raya)