Dekarbonisasi Pelayaran , Jadi Fokus Utama Dalam Side Even G20 Di Bali

BALI–MARITIM : Sebagai negara yang terletak di lokasi perdagangan strategis dunia, yang 90 persen perdagangan internasional dilakukan melalui laut, dan 40 persen diantaranya melewati perairan Indonesia. Ini berpotensi menimbulkan pencemaran air, yang sangat tinggi dari kapal. Disatu sisi, ada sekitar 1241 pelabuhan di Indonesia yang aktif beroperasi, dan berpotensi meningkatkan perekonomian berkelanjutan.

Hal tersebut dikemukakan Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Arif Toha yang menjadi salah satu pembicara dalam acara G20 Side Event: International Conference on Shipping Decarbonization in Indonesia, diselenggarakan oleh Kemenko Bidang Maritim dan Investasi dan Otoritas Maritim Denmark, di Bali pada 27-28 Oktober 2022.

Untuk itu kata Arif Toha, Kementerian Perhubungan terus mengoptimalkan pengembangan sektor transportasi laut yang berdaya saing, dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN), sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 432 Tahun 2017. Dimana saat ini terdapat 636 pelabuhan yang digunakan untuk melayani transportasi laut, 57 terminal yang merupakan bagian dari pelabuhan, dan 1322 rencana lokasi pelabuhan.

Dalam acara tersebut Dirjen Arif menyampaikan, beberapa upaya pemerintah Indonesia yang telah dilakukan dalam mendukung dekarbonisasi pelabuhan dan bahan bakar rendah karbon untuk shipping yang akan dimulai pada tahun 2036 dengan campuran e-amonia, hidrogen, dan biofuel.

Dikatakan, langkah-langkah wajib untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari pelayaran internasional telah dimulai sejak 1 Januari 2013, dintaranya semua kapal baru (di atas 400 gross ton) harus dirancang untuk mencapai Energy Efficiency Design Index (EEDI) di bawah patokan standar yang dipersyaratkan. Kemudian semua kapal wajib membawa dan menerapkan Ship Energy Efficiency Management Plan (SEEMP) untuk semua kapal dengan menggunakan Energy Efficiency Operational Indicator (EEOI) sebagai alat monitoring dan sebagai benchmarking.

“Sebagian negara menyatakan zero emission pada tahun 2050, namun terdapat beberapa negara juga yang menetapkan net zero emission pada tahun 2060 yaitu Indonesia, Rusia, China, Saudi Arabia, Ukraina, Sri Lanka, Nigeria dan Bahrain,” ujarnya.

Dirjen Arif menegaskan, Indonesia menggunakan bahan bakar rendah karbon untuk pelayaran dimulai pada tahun 2036 dengan campuran e-amonia, hydrogen dan biofuels.

Adapun upaya penurunan emisi GRK dalam rangka mencapai NZE 2060 yg saat ini dilakukan oleh subsektor transportasi laut adalah: penggunaan SBNP solarcell, melakukan efisiensi manajemen operasional pelabuhan yaitu dengan fasilitas Onshore Power Supply (di Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, Makassar, Balikpapan, Batam, Dumai, Cilacap, Banjarmasin, Kumai, Sampit, Benoa, Lembar, dan Kupang (21 Pelabuhan), melakukan modernisasi kapal penggunaan Bahan Bakar Nabati (B30), melakukan konservasi energi di kapal dan pelabuhan, dan pengembangan ecoport melalui penggunaan EBT di pelabuhan (misal : PLTS, LPJU solarcell).

“Selain itu Indonesia juga aktif menjalin kerja sama terkait dengan negara-negara lain dengan dukungan dari IMO Technical Cooperation Program, di antaranya Bluesolution, yang bertujuan dalam pengurangan emisi GRK melalui penggunaan teknologi,” ungkapnya dalam acara yang juga dihadiri Acara ini turut menghadirkan Director General of the Danish Maritime Authority, Andreas Nordseth dan dimoderatori oleh Asisten Deputi Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Ridha Yasser.

Perusahaan minyak nasional sendirir telah memulai produksi Low Sulfur Fuel Oil (LSFO) untuk bahan bakar armada Angkutan Laut Indonesia dan juga telah menyediakan LSFO untuk kegiatan pelayaran internasional di pelabuhan-pelabuhan besar Indonesia seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, Makassar, Balikpapan, Batam dan Dumai. Selain itu Kilang Pertamina Internasional juga telah membuat inovasi dan produk baru yaitu LFSO dengan spesifikasi internasional dan lebih ramah lingkungan.(Rabiatun)

Related posts