Penjualan Rendah, Insentif Mobil Listrik Akan Dievaluasi

JAKARTA-MARITIM : Seiring masih rendahnya penjualan mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV), yang batasannya jatuh pada akhir 2025 yang akan datang, maka pemerintah berencana mengevaluasi insentif bagi mobil listrik berbasis baterai tersebut.

Sementara per April 2025, penjualan BEV baru mencapai 23 ribu unit, yang apabila dihitung per setahunan mencapai 63 ribu unit.

Read More

“Jumlah itu masih jauh di bawah target kuantitatif. Produksi BEV dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 6 Tahun 2022 mencapai 400 ribu unit. Pada 2030 dan 2040, produksi BEV ditargetkan mencapai 600 ribu unit dan 1 juta unit,” kata Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan (IMATAP), Mahardi Tunggul Wicaksono, saat berbicara mewakili Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Setia Diarta, pada diskusi yang digelar oleh Forum Wartawan Industri (Forwin) bertajuk “Menakar Efektivitas Insentif Otomotif, di Jakarta, Senin (19/5).

Diskusi ini juga menghadirkan 2 pembicara lainnya, seperti Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara dan Peneliti LPEM UI, Riyanto

Selain itu, menurutnya, insentif BEV skema completely built up (CBU) untuk tes pasar akan berakhir pada akhir tahun ini. Sesuai Permenperin Nomor 6 Tahun 2023. Dengan demikian, pemain BEV harus mulai memproduksi di dalam negeri pada 2026 untuk mendapatkan insentif pajak, antara lain pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) 0% dan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) 10%. Sehingga tarif PPN yang dibayar hanya 2%.

Saat ini, BEV CBU untuk tes pasar mendapatkan insentif bea masuk (BM) 0% dari seharusnya 50%, PPnBM 0% dari seharusnya 15%. Total pajak yang dibayar ke pemerintah pusat BEV CBU hanya 12% dari seharusnya 77%. Syaratnya, pemain BEV harus membuka bank garansi dan komitmen produksi 1:1 dengan spesifikasi minimal sama. Relaksasi ini tidak akan berlaku lagi pada 2026.

Pemerintah juga mengkaji pemberian insentif untuk produk otomotif berteknologi lain, seperti hybrid electric vehicle (HEV) hingga hidrogen. Perluasan insentif ini diperlukan untuk menggairahkan pasar mobil yang turun dalam dua tahun terakhir.

Perluas insentif

Sedangkan peneliti LPEM UI, Riyanto, mengusulkan pemerintah memperluas insentif fiskal bagi mobil berdasarkan tingkat emisi. Pada titik ini, mobil hibrida atau hybrid electric vehicle (HEV) dan LCGC layak diberikan PPN DTP dengan besaran lebih rendah dari BEV. Sebagai contoh, HEV bisa diberikan PPN DTP 5%, sedangkan LCGC bisa 3%. Tahun ini, HEV mendapatkan PPnBM DTP 3%, demikian pula dengan LCGC.

Nilai tambah pemberian insentif ke HEV dan LCGC bakal lebih besar dibandingkan BEV. Sebab, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) HEV dan LCGC jauh di atas BEV, yakni 50% lebih, dibandingkan BEV yang paling banter hanya 40%.

Selain itu, ungkapnya, pemerintah perlu mempertimbangkan lagi insentif PPnBM-DTP mobil rakitan lokal bermesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE), seperti yang dilakukan pada 2021 untuk merespons pandemi Covid-19. Pada tahun itu, penjualan mobil bangkit menjadi 887 ribu unit dari tahun 2020 sebanyak 578 ribu unit.

“Pasar mobil kemudian pulih menembus 1 juta unit pada tahun 2022. Pasar mobil kemudian turun pada 2024 menjadi 865 ribu unit, seiring pelemahan daya beli masyarakat, pengetatan kredit, dan meningkatnya ketidakpastian ekonomi dunia. Per April 2025, penjualan mobil turun 2,9% menjadi 256 ribu unit, dibandingkan periode sama tahun lalu 264 ribu unit. Jika angka itu disetahunkan, penjualan mobil 2025 turun 11% menjadi 769 ribu unit. Artinya, penjualan mobil telah turun selama dua tahun beruntun dan layak disebut sedang mengalami krisis,” beber Riyanto.

Pada kesempatan sama, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, mendukung evaluasi insentif otomotif demi memajukan industri nasional. Dalam jangka pendek, pemerintah bisa mengucurkan insentif pajak ke semua teknologi, mengingat porsi komponen ke harga mobil saat ini sangat tinggi, sekitar 50%.

Dengan pemberian insentif, sambungnya, total penjualan mobil bisa meningkat. Bahkan menyentuh titik optimal 3 juta unit per tahun, setara dengan di Meksiko. Hitungan ini berdasarkan rata-rata penjualan mobil bekas per tahun yang mencapai 2 juta unit. Artinya, jika jumlah itu dialihkan ke mobil baru, penjualan bisa mencapai 3 juta unit.

Akselerasi

Tunggul menegaskan, pemerintah terus mengakselerasi transformasi industri otomotif nasional menuju era elektrifikasi melalui kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal. Kemenperin telah menerbitkan berbagai regulasi strategis untuk mendukung target net zero emission (NZE) nasional.

Salah satu instrumen kunci, kata dia, adalah penguatan regulasi yang mewajibkan pemenuhan local purchase dan/atau TKDN dalam proses produksi kendaraan bermotor.

“Melalui regulatory framework yang telah disusun, industri KBM yang memenuhi ketentuan local purchase dan TKDN dapat memperoleh insentif baik fiskal maupun non-fiskal. Ini menjadi langkah strategis dalam menciptakan industri otomotif yang mandiri dan berdaya saing,” ujarnya.

Sebagai bentuk dukungan konkret, dia mengatakan, pemerintah telah menyiapkan program insentif perpajakan bagi perusahaan yang menunjukkan komitmen investasi di Indonesia. Bentuk insentif tersebut meliputi pembebasan BM dan PPnBM untuk kendaraan listrik CBU, insentif BM dan PPnBM untuk kendaraan listrik CKD (completely knocked down) dengan TKDN yang masih berada di bawah ketentuan roadmap, guna mendorong percepatan realisasi investasi sambil menjaga kelangsungan industri lokal.

Selain kendaraan listrik, industri otomotif yang memproduksi kendaraan hybrid dan tergabung dalam program low carbon emission vehicle (LCEV) juga mendapatkan insentif PPnBM DTP sebesar 3%, sebagai bentuk dukungan terhadap transisi bertahap menuju teknologi kendaraan yang lebih bersih.

Tunggul menegaskan, insentif-insentif ini merupakan stimulus penting dalam membangun ekosistem kendaraan listrik nasional yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

“Kami percaya, dengan sinergi regulasi, insentif, dan investasi, Indonesia mampu menjadi pemain utama dalam industri kendaraan masa depan,” katanya.

Saat ini, ada 63 perusahaan yang memproduksi sepeda motor listrik roda dua dan tiga, dengan jumlah kapasitas produksi sebanyak 2,28 juta unit per tahun dan total investasi sebesar Rp1,13 triliun. Kemudian, terdapat sembilan perusahaan yang memproduksi mobil listrik dengan jumlah kapasitas produksi sebanyak 70.060 unit per tahun dan investasi sebesar Rp4,12 triliun.

Ada pula tujuh perusahaan yang memproduksi bus listrik, dengan jumlah kapasitas produksi sebanyak 3.100 unit per tahun dan total investasi sebesar Rp0,38 triliun. Jadi, keseluruhan investasi tersebut sebesar Rp5,63 triliun.

“Investasi ini yang perlu dijaga, karena membawa multiplier effect bagi perekonomian nasional, termasuk pada peningkatan jumlah tenaga kerja di Indonesia,” jelasnya.

Ditambahkan, insentif BEV CBU akan berakhir tahun 2025, sedangkan CKD akan dievaluasi. Pada saat yang sama, pemerintah mengkaji pemberian insentif ke semua kendaraan bermotor yang memakai berbagai teknologi, seperti hybrid hingga hidrogen. Besarannya masih terus dikaji.

“Perlu diingat, kami tidak merumuskan sendiri pemberian insentif, melainkan berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian ESDM, dan Kementerian Keuangan,” urainya.

Dukungan Gaikindo

Kukuh Kumara menyatakan, Gaikindo mendukung pemberian insentif pajak mobil, karena bisa menjadi obat mujarab untuk menaikkan penjualan mobil dalam jangka pendek. Ini sudah dibuktikan pada 2021. Saat memberikan insentif, penerimaan negara bisa berkurang. Tetapi, ini akan ternormalisasi, begitu pasar mobil pulih.

“Kami tidak minta utang atau subsidi, melainkan penundaan penyetoran pajak pada periode tertentu. Begitu ekonomi bangkit, penerimaan pemerintah akan kembali,” sebutnya.

Dijelaskan, Gaikindo juga menyerukan evaluasi kebijakan insentif otomotif yang bisa berdampak jangka panjang dan memastikan target yang dicanangkan tercapai. Sebagai contoh, target produksi BEV pada 2030 mencapai 600 ribu unit.

Semua pihak, lanjutnya, harus memastikan BEV diproduksi di dalam negeri. Bahkan kalau bisa diekspor. Artinya, Indonesia menjadi basis produksi BEV domestik dan ekspor.

Hal tak kalah penting, dia menyatakan, mobil hybrid juga menjadi bagian mobil elektrifikasi. Mobil ICE tidak bisa dikesampingkan, lantaran masih menjadi pilar industri mobil. Pun dengan LCGC yang mengeluarkan emisi rendah dengan harga terjangkau.

“Intinya, otomotif membutuhkan kebijakan long term. Karena itu, Indonesia jangan hanya fokus ke satu teknologi. Artinya, pemerintah jangan menutup mata ke mobil hybrid, yang kini juga dilirik di China. Sebab, pada prinsipnya, teknologi otomotif berkembang cepat, sehingga kebijakan harus fleksibel dan bermanfaat,” hitungnya.

Sejauh ini, nilainya, mobil elektrifikasi baru memakan pasar ICE dan LCGC, belum menciptakan pasar baru. Pada titik ini, insentif ke ICE dan LCGC bisa menambah volume pasar hingga 3 juta unit. Kalau ini tercapai, para pemain akan menambah kapasitas pabrik, baik melalui perluasan atau pembangunan fasilitas baru. Ini akan menyerap tenaga kerja, sehingga positif bagi ekonomi.

“Kalau otomotif menambah satu tenaga kerja, efeknya itu untuk dua orang. Jadi, efek pengungkitnya luar biasa. Otomotif adalah jembatan untuk memperkuat manufaktur. Jangan sampai manufaktur layu sebelum berkembang, karena kita punya potensi pasar 3 juta unit. Jadi, perluasan insentif otomotif diperlukan,” papar dia.

Selama ini, Kukuh menyatakan, penjualan mobil terkendala di pajak, lantaran berkontribusi 50%. Padahal, di Malaysia yang PDB per kapita lebih tinggi dari Indonesia hanya 30%. Pajak tahunan di Indonesia juga lebih mahal dari Malaysia. Pemerintah perlu mempertimbangkan fakta bahwa mobil di harga tertentu bukan lagi barang mewah, melainkan dipakai untuk mencari nafkah. Dengan begini, pengenaan PPnBM ke mobil-mobil tertentu bisa dikaji ulang.

Krisis Otomotif

Riyanto menyatakan, industri mobil mengalami resesi, lantaran penjualan turun dalam dua tahun beruntun. Ironisnya, tahun ini berlaku opsen pajak di beberapa daerah.

“Jadi, ibaratnya industri mobil sudah jatuh tertimpa tangga. Oleh sebab itu, industri mobil, terutama ICE yang stagnan membutuhkan insentif,” ujarnya.

Diutarakan, pemberian insentif berkorelasi kuat dengan penjualan. Contohnya, dengan model regresi, penjualan BEV yang mendapatkan insentif 57% lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Oleh sebab itu, waktunya pemerintah memperluas insentif pajak, seperti PPN DTP ke mobil ICE, LCGC, hingga hybrid, dengan patokan emisi. Sebab, faktanya, emisi BEV berdasarkan metode well to wheel tidak lebih rendah dari hybrid.

“Saya yakin, efek insentif LCGC, HEV, dan ICE lebih besar ke ekonomi dibandingkan BEV. Saat ini, BEV menghadapi tantangan berupa kecemasan jarak tempuh dan keterbatasan infrastruktur SPKLU. Hal ini membuat BEV lebih diburu pemilik mobil kedua dan ketiga, bukan mobil pertama. Sebaliknya, mobil ICE, LCGC, dan HEV berpeluang menjadi mobil pertama, karena tak menghadapi tantangan tersebut,” paparnya.

Dalam jangka pendek, Riyanto melihat, perlu kebijakan fiskal seperti saat pandemi, entah itu diskon PPN atau PPnBM untuk menyelamatkan industri dari krisis. Hal yang penting adalah harga kendaraan turun. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu membuat kajian untuk menemukan tarif pajak ideal dari sisi industri dan negara. Intinya, jangan sampai industri dan masyarakat terbebani pajak yang kini 40% lebih. Tarif ini perlu dikurangi.

“Mestinya pemerintah tak perlu takut rugi ketika memberikan pajak ke industri mobil. Sebab, dampak ekonomi insentif ini sangat besar. Pemberian insentif PPnBM 0% dapat menyumbangkan PDB 0,8% dan tambahan tenaga kerja di otomotif 23 ribu dan dalam perekonomian (multiplier) 47 ribu orang. (Muhammad Raya)

 

 

 

 

 

 

Related posts