JAKARTA, MARITIM: Himpunan Pengusaha Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki) mengapresiasi pernyataan Direktur Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Kementerian Ketenagakerjaan Eva Trisyana yang mengatakan bahwa penetapan 58 perusahaan yang akan mengirim pekerja migran dalam uji coba penempatan sistem satu kanal ke Arab Saudi dilakukan oleh tim seleksi dari lintas instansi, sehingga hasilnya sangat akurat dan bisa dipertanggung jawabkan .
Namun, jika dari 58 Perusahaan Penempatan Pekerja Mingran Indonesia (P3MI) itu ditemukan ada perusahaan yang bermasalah atau tidak memenuhi syarat, Himsataki minta pejabat yang membuat pernyataan itu harus mundur dari jabatannya. Misalnya, ditemukan ada perusahaan tidak aktif dalam beberapa tahun terakhir, alamatnya tidak jelas karena kantornya pindah, atau bahkan terindikasi perusahaan mengirim pekerja secara illegal ke Timur Tengah.
“Jika terbukti ada perusahaan yang bermasalah, maka konsekwensinya pejabat tesebut harus mundur,” tegas Sekretaris Jenderal Himsataki, Amin Balubaid, dalam keterangannya di Jakarta, Senin (6/5).
Menurut Amin, saat ini berkembang isu di kalangan PPPMI, 80% dari 58 perusahaan yang lolos seleksi tidak mempunyai kantor yang representatif. Kalaupun ada hanya 1-2 dan sudah tidak ada kegiatannya lagi. Ini bisa dimaklumi karena sudah 8 tahun pengiriman TKI ke Timur Tengah dimoratorium.
Tapi jika isu tersebut benar adanya, Amin masih mempertanyakan, apakah Eva (direktur), Hanif, ataupun Dirjen berani mundur dari jabatannya untuk mempertanggung jawabkan pernyataannya.
“Jangan seperti para politisi yang sering berjanji tapi mudah mengingkari. Contoh, janji gantung di Monas, janji potong kuping, tetapi setelah dihukum bersalah oleh pengadilan tipikor, tak satupun yang berani membuktikan omongannya.
Terkait adanya perusahaan yang bermasalah atau tidak memenuhi syarat, Himsataki memandang perlu dibentuk tim independen untuk melakukan investigasi.
Himsataki juga menyoroti tidak maksimalnya perlindungan pekerja migran/TKI di luar negeri padahal beberapa instansi terlibat di dalamnya, seperti Kemenlu, Kemnaker, BNP2TKI dan BPJS .
Hal ini, menurut Amin, karena dalam pelaksanaannya selama ini undang-undang atau peraturan pemerintah tentang perlindungan TKI tidak tepat sasaran. Sejumlah instansi saling lempar tanggung jawab dan terakhir yang paling disalahkan adalah PPTKIS/P3MI.
Contoh, TKI dilindungi oleh sejumlah instansi terkait, seperti Kemenlu, Kemnaker BNP2TKI, BPJS (asuransi) dan P3MI.Meski perlindungan begitu banyak, tetap saja TKI tidak terlindungi sampai ada ribuan yang mengadu kepada wakil PDI di Saudi Arabia. “Artinya swasta lebih dipercaya dari pada pemerintah,” ujarnya.
Amin mengusulkan agar peraturan pemerintah tentang perlindungan TKI diatur bersama-sama antara pemerintah, swasta dan yang terkait dengan penempatan TKI. Masalah ini tidak usah dibawa ke wilayah politik.
“Dengan demikian nantinya tidak akan ada yang saling menyalahkan bila terjadi sesuatu terhadap TKI. Tidak seperti sekarang kalau ada permasalahan selalu P3MI/PPTKIS yang paling disalahkan, padahal banyak instansi yang bertanggung jawab terhadap perlindungan TKI di luar negeri,” tambahnya .
Ia memberi contoh kasus TKI yang tidak dibayar gajinya selama 5 tahun, TKI lantas kabur ke KJRI. “Bukan majikannya yang dikejar/dituntut, tetapi malah PPTKISnya yang diwajibkan bertanggung jawab,” keluhnya.(Purwanto).