SEMARANG – MARITIM : Volume ekspor produk perikanan Jawa Tengah selama kuartal I tahun 2019 atau periode Januari – April 2019, tercatat dalam jumlah total sebesar 15.698 Ton atau meningkat 5,1% dibanding dengan realisasi ekspor pada kuartal I tahun 2018. Raden Gatot Perdana Kepala Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BKIPM) Semarang, katakan meski terjadi kenaikan volume ekspor, tetapi dari sisi nilai ekspor pada kuartal I tahun 2019 mengalami sedikit penurunan sebesar 5,3% dibanding kuartal yang sama tahun lalu.
Terkait fenomena tersebut, Gatot jelaskan Kamis lalu: “Jumlah komoditas yang mengalami peningkatan di awal tahun 2019 ini, merupakan kontribusi komoditi dengan nilai ekonomi yang relativ rendah. Contohnya dapat kita ambil berdasar volume ekspor surimi yang dari sisi volume tercatat sedemikian tinggi, tetapi komoditas ini memiliki nilai jual yang lebih rendah bila dibanding komoditi rajungan dengan volume yang justru lebih rendah”.
Lima negara tujuan eksport produk perikanan Provinsi Jawa Tengah, yang menempati urutan tertinggi masih terdiri dari Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Malaysia dan Taiwan. Amerika Serikat menjadi peringkat teratas dengan volume 1.041 ton senilai Rp367 miliar, sedang terendah adalah Taiwan dengan volume ekspor 981 ton, senilai Rp45 miliar. Sedang volume penjualan tertinggi adalah komoditas surimi yaitu sebanyak 3.307 ton, disusul cumi-cumi sebanyak 1.752 ton, rajungan sebanyak 1.086 ton, udang putih 787 ton dan daging nila 723 ton. Jelas Gatot selanjutnya: “Nilai tertinggi ekspor dari produk perikanan tersebut adalah Rp 350 miliar, dari produk rajungan, disusul surimi senilai Rp107 miliar dan produk perikanan lainnya”.
Peningkatan Kuantitas
Masih menurut Kepala Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BKIPM) Semarang, meningkatnya kuantitas volume perikanan ini menjadi catatan yang cukup baik di kuartal I tahun 2019 ini, karena hal itu menunjukkan adanya peningkatan kuota ekspor hasil perikanan. Hal itu dinilai sebagai tolok ukur keberhasilan dari program pemerintah dalam menjaga kedaulatan di laut dari maraknya Ilegal Fishing di Indonesia yang dilakukan oleh kapal-kapal asing.
Ungkap Gatot lebih jauh: “Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah ekspor ikan, yang berasal dari tangkapan nelayan, sehingga dapay menjadi pertanda mengembalikan laut sebagai ladang subur bagi para nelayan”.
Disebutnya, yang menjadi catatan dan kewajiban seluruh pihak adalah usaha peningkatan nilai jual dan daya saing produk hasil perikanan di tiap daerah, juga Jawa Tengah, sehingga nilai ekspor yang tidak sejalan arah kenaikannya dengan volume ekspor dapat sejalan sesuai yang diharapkan.
Ujarnya lebih jauh: “Perlunya disertifikasi produk dan inovasi baru dalam produksi produk olahan berbahan ikan, dapat menjadi salah satu solusi untuk mendongkrak nilai ekspor perikanan Jawa Tengah agar selaras dengan jumlah volume ekspornya”.
Perbaiki Pencatatan Kapal
Dari wilayah lain, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku sebagai kawasan penghasil ikan untuk komoditas ekspor, dinilai perlu memperbaiki dokumentasi pencatatan kapal guna meningkatkan ekspor tuna asal provinsi itu. Koordinator Nasional DFW-Indonesia Mohamad Abdi Suhufan menyebutkan perlunya dilakukan perbaikan pencatatan, jadi penting karena para buyer di negara tujuan ekspor tuna seperti Amerika dan Jepang sangat peduli terhadap aspek ketertelusuran produk perikanan yang masuk ke negaranya.
Untuk memperbaikian pencatatan ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku minta agar pemerintah daerah dapat meningkatkan pembinaan nelayan kecil. Sebab pada pasca moratorium, nelayan kecil merupakan pelaku utama tuna di Kawasan Timur Indonesia. Abdi, seperti dikutip dari keterangan tertulisnya pada Senin (15/5/2019) katakan: “Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku mesti proaktif membantu nelayan kecil mendapat Bukti Pencatatan Kapal Perikanan (BPKP) sebagai dokumentasi ekspor terutama tuna tujuan Amerika”.
Berdasarkan data dari Bea Cukai Ambon, ekspor tuna pada Januari hingga 8 April 2019 telah mencapai US$2.6 juta. Adapun pada periode Jan-Des 2018 ekspor nya mencapai US$9.7 juta dengan tujuan eskpor tuna Maluku antara lain ke negara-negara Vietnam, Jepang dan juga Amerika Serikat.
Disamping meningkatkan pembinaan nelayan kecil, pemerintah provinsi Maluku juga dinilai perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk perikanan. Menurut DKP Maluku, karakteristik nelayan kecil di masih memerlukan dukungan sarana penangkapan yang lebih modern dan penyediaan listrik, khususnya di pulau-pulau kecil yang menjadi sentra perikanan Maluku.
Imbuh Abdi: “Pemda Maluku mesti berani investasi dan alokasikan anggaran pembangunan untuk pengadaan kapal ukuran kecil dan mini coldstorage sebagaiu sarana menampung tangkapan nelayan kecil”.
Sehubungan dengan hal tersebut, Wakil Ketua Bidang Pengembangan Sarana dan Prasarana Kepulauan, DPP Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) Syahrir Abdul Rauf latakan bahwa perlu ada sinergitas pembinaan nelayan kecil antara pusat dan daerah. Pungkasnya: “Secara perlahan, daerah perlu mengurangi ketergantungan bantuan kapal-kapal sebagai alat produksi penangkapan ikan dari pusat. Oleh karenanya lewat APBD, daerah dapat mengadakan sendiri dan mendorong pelaku usaha industri perikanan berinvestasi di sektor perikanan tangkap”. (Uti/Smr/Maritim)