INDRAMAYU JABAR – MARITIM : Setelah sukses menyiarkan hasil investigation reporting terhadap fenomena perburuan gelap ikan hiu di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTT),(maritim.com Jum’at 08/02/2019)
wartawan Australia Broadcasting Corporation (ABC) diundang untuk mengunjungi pasar ikan antara lain ke tempat pelelangan ikan hiu Karangsong di Indramayu (Jawa Barat). Berdasar kesan pertama dari kunjungan resmi di pasar ikan, ABC tidak menemukan adanya hasil tangkapan ikan hiu yang dijual.
Pada kesempatan itu Darto, kepala koperasi perikanan setempat menjelaskan: “Tidak ada yang melanggar aturan di sini … kalau para nelayan menangkap hiu di jaring mereka. Kalau ikan hiu itu masih hidup, mereka akan melepaskannya kembali ke habitatnya”.
Tak puas dengan liputan “resmi” itu, pada hari kedua keesokan harinya, para peliput ABC mengunjungi pasar itu tanpa dikawal oleh otoritas setempat, terlihat pemandangan yang sangat berbeda. Awak ABC muncul di sana tanpa pemberitahuan dan menemukan bukti industri perburuan hiu yang menggurita, dengan para pekerja memotong ratusan sirip hiu di dermaga. Berjalan di atas hamparan bangkai hiu, juru lelang meneriakkan angka-angka dengan cepat lewat megafon, sekelompok kecil pembeli berkerumun di sekitarnya. Berikut, catatannya:
Menjadi Sorotan
Di antara hewan mati di kaki mereka, darah mengucur dari insang tumpukan ikan. Antara terdapat hiu martil yang terancam punah, dengan kepala mereka diukir pada satu titik untuk menyembunyikan moncong berbentuk palu khas mereka. Lebih jauh ke bawah dermaga, hiu kecil ditumpuk seperti kayu bakar ke dalam truk, dan dibawa untuk sebagian dijual di pasar dan lainnya akan diekspor.
Posisi Indonesia sebagai penghasil hiu, beberapa tahun terakhiur ini menjadi sorotan banyak fihak, karena diyakini membunuh lebih banyak hiu daripada negara lain mana pun di dunia. Lebih-lebih pada saat ini, tatkala tindakan keras Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terhadap kapal penangkap ikan asing, industri hasil laut ini berkembang pesat, kendati saat Ini juga terjadi penurunan selera di China terhadap sup sirip hiu.
Terkait hal tersebut, Vanessa Jaiteh peneliti perikanan hiu Indonesia berkomentar: “Secara ekonomius bagi para nelayan terutama mereka yang mata pencahariannya didasarkan pada perburuan hiu untuk perdagangan siripnya”.
Dr Jaiteh mengatakan bahkan hiu yang tertangkap secara tak sengaja sering dibunuh demi sirip mereka sebagai cara meningkatkan keuntungan dari perjalanan melaut. Penelitiannya selama bertahun-tahun telah mengarahkan ahli biologi kelautan menyimpulkan bahwa penangkapan ikan memiliki “dampak parah” pada beberapa populasi hiu di Indonesia. Ujar Dr. Jaiter kepada juru warta ABC: “Nelayan yang lebih tua mengatakan menangkap lebih banyak hiu di masa mudanya, dan bahkan nelayan muda mengatakan menangkap hiu yang lebih besar dan lebih banyak kurang dari satu dekade lalu”.
Target: Hiu Muda
Memotong sirip hiu tidak ilegal di Indonesia, tetapi praktik mengambil siripnya di laut, dan membuang badan hiu kembali ke laut, diyakini menjadi salah satu ancaman terbesar bagi populasi hiu. Praktik ini lazim di Indonesia Timur, kawasan yang secara ekonomis masih tertinggal dibanding dengan mayoritas daerah lain di Indonesia. Penangkapan ikan di KTI merupakan mata pencaharian yang penting.
“Saya pikir penting untuk memahami bahwa beberapa komunitas ini memiliki ekonomi subsisten sebelum mereka memasuki perdagangan sirip hiu, yang mengakibatkan mereka beralih ke ekonomi tunai” kata Dr Jaiteh.
Penurunan pasar sirip hiu global telah menyebabkan sejumlah nelayan beralih ke praktik radikal untuk bertahan hidup, termasuk penangkapan ikan dengan dinamit. Di samping itu juga acapkali terjerumus dalam penyelundupan manusia.
Dwi Ariyoga Gautama dari World Wide Fund (WWF organisasi non pemerintah internasional yang menangani konservasi, poenelitian dan restorasi lingkungan), katakan bahwa operasi skala industri memang menimbulkan ancaman signifikan terhadap jumlah hiu. Tetapi sering kapal-kapal kecil yang tidak terdaftar menjadi penyebab kerusakan terbesar. Ujar Gautama: “Mereka tidak menangkap hiu sebanyak kapal skala industri, tetapi yang mereka tangkap adalah hiu remaja”.
Hampir Punah
Sekitar 30% dari 117 spesies hiu yang dikenal di Indonesia, saat ini dianggap terancam atau hampir punah. Kendati demikian, hanya terdapat sembilan spesies yang diatur peraturan pemerintah. Bahkan hanya jenis hiu paus sebagai satu-satunya spesies yang sepenuhnya dilindungi.
Disamping adanya akal-akalan dan kerahasiaan di sekitar penangkapan ikan hiu, dalam rangka menjaga kelesatarian satwa laut terbesar itu, terdapat pula kekurangan data yang dapat diandalkan dalam melindungan keberlanjutan kehidupan hiu. Berdasar data terbaru, diperkirakan sekitar 100.000 ton hiu dan pari terbunuh di Indonesia setiap tahun. Dr Jaiteh mengatakan bahwa Indonesia telah mengambil beberapa langkah tegas dalam mengatasi populasi yang menurun, termasuk pengembangan rencana aksi nasional dan pemberlakuan larangan ekspor bagi beberapa spesies.
Tetapi tak ada informasi yang tersedia untuk umum tentang jumlah hiu atau total tangkapan tahunan sejak 2016, meskipun pihak berwenang setempat mengumpulkan data. Karenanya hal Itu membuat penilaian akurat tentang ancaman terhadap populasi hiu menjadi hampir mustahil.
Maka, pertanyaan tentang nasib hiu yang segera perlu jawaban adalah: Mengapa sejauh ini perburuan illegal terhadap hiu oleh di Indramayu, Jawa Barat seakan dibiarkan berlangsung. Padahal jarak antara Jakarta hingga Indramayu tak lebih dari 300 Km, dan akses lewat darat maupun laut anyara kedua kota itu didukung oleh pelbagai sarana patroli guna pengamanan keberlanjutan kehidupan hiu maupun jenis ikan lain. ***ERICK ARHADITA