JAKARTA – MARITIM : Selepas Presiden Joko Widodo menyampaikan kecurigaan adanya monopoli pada program Tol Laut yang dilakukan oleh beberapa fihak swasta (klik: maritim.com Jum’at 1/11/2019), muncul berbagai reaksi bernada “kaget”. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai otoritas utama transportasi (darat, laut dan udara), segera keluarkan pernyataan bahwa fihaknya menemukan indikasi berlangsungnya monopoli di Tol Laut yang menjurus bentuk kartel yang terjadi di dua tempat.
Wisnu Handoko, Direktur Lalu Lintas Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub menuturkan pihaknya menemukan indikasi terjadinya kartel pada proses distribusi barang melalui Tol Laut. Kartel yang dimaksud, berupa persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditas tertentu. Memberi konfirmasi kepada awak media, Dirlala mengungkjapkan: “Kemungkinan mahal itu di dua titik, biaya logistik berupa bundling end to end jadi mahal, dan/atau pada saat transaksi jual-beli. Isunya di situ, maka kalau mau dibuat aturan, ya di sisi itu”.
Menurut Dirlala Wisnu Handoko, potensi terjadinya kartel dari sisi distribusi logistik tersebut mengingat panjangnya proses logistik dari pengiriman hingga barang sampai tujuan. Pada saat ini, subsidi Tol Laut hanya berlaku bagi aktivitas pelayaran, sementara angkutan darat dari dan menuju pelabuhan serta biaya aktivitas pelabuhan tidak termasuk dalam subsidi. Oleh karenanya perlu dipetakan lebih jauh mengenai besaran ongkos pada proses logistik tersebut. Bahkan, diusulkan perlu dibuat aturan terkait dengan jasa pengurusan transportasi (JPT) sebagai penanggung jawab aktivitas logistik tersebut. Terangnya: “Kalau di jasa pengurusan ini harus dikeluarkan aturan jasa pengurusan yang membuat pernyataan harga yang baik, harus pula dirumuskan agar mereka tak menentukan harga berlebihkan”. terangnya.
Dalam mengamatan Dirlala, banyak sekali JPT yang dapat melayani pengiriman barang melalui Tol Laut. Namun, JPT yang banyak tersebut terkoordinasi dalam dua kubu, yakni kubu ‘Rumah Kita’ yang beranggotakan BUMN, dan kubu ‘Gerai Maritim’ yang menghimpun para pedagang swasta di daerah. Ujarnya: “Gerai Maritim itu murni swasta, toko-toko yang ada di daerah sana, di Timika, Saumlaki, Dobo, mereka yang kirim barang, seperti toko grosir dia ambil barang di Surabaya”.
Menurut penilaiannya, kemungkinan terjadi monopoli atau kartel ada di dalam kelompok ‘Gerai Maritim’ tersebut. Untuk mencegah perusahaan melakukan aktivitas monopoli, Kemenhub akanlebih mencermati dan mencegah perusahaan-perusahaan swasta yang memesan ruang muat paling besar di kapal Tol Laut.
Selain indikasi JPT tersebut, Dirlala Wisnu Handoko menengarai ada kartel pada proses penjualan akhir. Untuk mencegah hal itu, menurutnya dapat dibenahi dengan aturan dan penataan harga jual dari masing-masing produk yang dikirimkan melalui Tol Laut. Ujarnya: “Jika memang terjadi di penjual akhir, banyak yang terkait karena dalam perdagangannya terlibat Kemendag, Pemda, Kementan, dan Kemendes”.
Tanggapan Pemilik Kapal
Terkait dengan saling-silang masalah yang sampai-sampai menimbulkan kerurigan dari kepala negara, Indonesian National Shipowners’ Association (INSA/Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia) menolak anggapan bahwa swasta melakukan monopoli pengiriman barang melalui Tol Laut yang disubsidi pemerintah. Stenven Handry Lesawengen, Ketua INSA Jatim, menegaskan bahwa perusahaan swasta tidak memonopoli harga barang yang melalui rute rute Tol Laut, karena para pelaku perusahaan swasta sudah melalui perjanjian tender. Terangnya: “Harga barang berlaku pada mekanisme pasar dan itu tidak diatur pemerintah. Artinya Tol Laut tidak ada hubungan dengan mekanisme pasar. meskipun pemerintah telah mengupayakan adanya subsidi Tol Laut, tidak serta merta harga barang di tempat tujuan akan jauh lebih murah dibanding harga sebelumnya ketika tanpa ada subsidi. Hal itu terjadi karena Tol Laut hanya merupakan model angkutannya saja, sedang harga barang ditentukan mekanisme pasar”.
Untuk menyamakan harga komoditas dan menekan disparitas, Stenven mengusulkan bukan hanya melalui subsidi laut, tetapi pemerintah juga dapat melakukan pengaturan mekanisme pasar melalui aspek normatif barang seperti perubahan harga BBM yang sama di seluruh Indonesia. Tetapi dari aspek normatif barang itu dapat berefek apabila pemerintah ikut mengatur mekanisme pasar, seperti BBM di seluruh indonesia yang harganya disamakan, karena pemerintah juga ikut turun tangan.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi mencurigai adanya monopoli pengiriman barang melalui Tol Laut oleh perusahaan swasta, disampaikan Presiden di Jakarta, Rabu (30/10/2019), saat dilaksanakan rapat terbatas membahas penyampaikan program dan kegiatan di bidang kemaritiman dan investasi.
Pendapat ALFI Jatim
Terkait kecurigaan Presiden Jokowi, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menilai disparitas harga Tol Laut yang belum sesuai dengan harapan Presiden disinyalir karena saat ini angkutan kargo balik kapal-kapal Tol Laut yang masih kosong. Henky Pratoko Ketua DPW ALFI Jatim mengatakan penyebab dari masih terjadinya disparitas harga pasca pelaksanaan program Tol Laut, disebabkan oleh return cargo yang masih belum maksimal, utamanya dialami oleh kapal-kapal Tol Laut rute ke/dari Papua. Kendati jumlah kargo dari Surabaya ke Papua selalu penuh, tetapi saat kapal kembali dari Papua menuju Surabaya, rerata hanya terisi tak lebih 10% dari total slot kargo di kapal.
Tutur Henky: “Seharusnya, penerima barang hanya wajib menanggung beban ongkos kirim saja. Tetapi dalam kasus Tol Laut, mereka juga harus menanggung beban ongkos kirim balik petikemas. Padahal, pada waktu balik tak ada komoditas yang diangkut, hingga biaya balik tak tertanggungkan”.
Menurutnya, pemerintah perlu memperhatikan potensi komoditas asli Papua serta pulau-pulau tujuan lainnya yang dapat dijualbelikan ke luar pulau tersebut. Dengan potensi angkutan komoditas lain, biaya operasional kapal sebagai alat kirim, akan tercover”.
Hengky juga menilai kurangnya pengawasan pemerintah, mengakibatkan tetap terjadinya harga barang yang masih dijual lebih tinggi pada pulau tujuan, meskipun alur return cargo pulau tersebut baik. Hal ini berpotensi trader menjadi pihak yang paling diuntungkan. Imbuhnya: “Jadi ongkos angkutnya murah tapi harga jualnya tak berubah, ya sama saja”.
Menurut Ketua ALFI Jatim, disparitas harga komoditas tersebut perlu dievaluasi, agar dapat diminimalkan adanya salah satu pihak yang mengambil untung sangat tinggi. Saran Henky agar pemerintah juga memperhatikan pertumbuhan industri di tiap pulau agar return cargo dalam pengiriman kembali dapat terpenuhi. Pungkasnya: “Jadi harusnya ada pertumbuhan industri di Papua. Hingga kalau perlu tambah ruang kapal, dan tambah petikemas tak perlu terjadi gejolak biaya kirim maupun harga di pasar. Tetapi yang terjadi selama ini industri kpmpdiyas unggulan belum berhasil tumbuh. Atau minimal Pemda setempat melakukan koordinasi dan fasilitasi ke pengusaha lokal untuk lebih berperanserta memicu iklim usaha agar lebih bergairah, dengan dampak kian lancar dan tercapainya keseimbangan angkutan logistik yang kedepannya diharap akan berhasil menghilangkan, minimal menekan disparitas harga antar daerah”.. (Erick Arhadita)