SURABAYA – MARITIM : Para pelaku usaha pelayaran anggota Indonesian National Shipowner’s Association (INSA) Jawa Timur mengusulkan agar pemerintah mengevaluasi dan mengalihkan subsidi Tol Laut untuk pengembangan potensi perekonomian daerah serta mengoptimalkan armada kapal swasta yang over supply. Stenvens Handry Lesawengen, Ketua INSA Jatim mengatakan bahwa program Tol Laut yang terus bergulir hingga saat ini dinilai tak tepat sasaran. Hal ini dapat dikaji dari disparitas harga barang di Kawasan Timur Indonesia masih bergeming tinggi.
Memberi penjelasan kepada awak media, Senin (02/12/2019) laly di kantornya, Stenven berucap: “Sementara, transportasi sendiri selama ini dianggap sebagai penyebab cost logistik tinggi. Padahal secara total keuntungan pengusaha kapal itu hanya 6,51% dari harga barang yang diangkutnya”.
Untuk memperkuat penilaiannya, Stenvens memberi contoh: satu botol produk air mineral berukuran 600 ml yang di Pulau Jawa dijual dengan harga Rp1.800, sedangkan di Maluku, harga air mineral tersebut dijual di toko kelontong sekitar Rp6.000. Dan dari harga Rp6.000 tersebut, ongkos kapal Tol Laut hanya Rp358 atau 5,97%, jika menggunakan kapal swasta 6,51%, ditambah ongkos pelabuhan dan trucking 4,96% atau Rp297.
Imbuh Stenvens: “Jadi harga barang di Jawa hanya 30%, total estimasi logistik pakai kapal Tol Laut hanya 11%. Lalu margin profit pedagang bisa 59,07% atau Rp3.544. Maka akan timbul pertanyaan: sebenarnya dari program ini siapa yang diuntungkan?”.
Selain itu, masih menurut Ketua INSA Jatim, pemerintah saat ini juga sibuk membangun kapal-kapal baru untuk mendukung program Tol Laut. Padahal, jumlah armada kapal swasta masih sangat banyak bahkan menganggur akibat adanya program Tol Laut. Ujarn Stenvens pula: “Sebenarnya dengan armada yang sudah ada saat ini, sudah lebih dari cukup. Bahkan tanpa subsidi dari pemerintah. Karena sasaran Tol Laut yang paling penting adalah dalam rangka membangun perekonomian di daerah, dengan menekan disparitas harga”.
Lebih jauh, Stenvens memaparkan, jumlah armada kapal dengan berbagai ukuran kapasitas secara nasional pada 2005 tercatat mencapai 6.000 unit, pada 2008 naik menjadi 10.000 unit, dan pada 2018 telah mencapai 27.000 unit. Jelasnya: “Khusus kapal dengan kapasitas 300 – 5.000 GT saat ini ada 7.000 unit, dan sebanyak 3.000 unit ada di wilayah Jatim atau timur. Dan rata-rata foyage hanya sanggup 3 kali alias kapal nganggur padahal dulu mampu 5 kali, bahkan lebih bagus lagi pada event tertentu dapat lakukan 10 kali voyage”.
Akibatnya, pengusaha pelayaran pun menanggung beban operasional yang tinggi ketika kapalnya tidak beroperasi, karena mereka masih tetap harus membayar biaya sandar di pelabuhan, gaji ABK, bahan bakar untuk menyalakan mesin dan lampu dengan rerata biaya sekitar Rp20 juta/hari.
Dalam kesempatan terpisah, Lukman Ladjoni Owner PT Surya Bintang Timur, mengakui tiga tahun pihaknya memiliki 8 unit kapal yang kerap mengangkut komoditas semen dan pupuk. Namun kini hanya tersisa 5 unit dan jarang berlayar. Terkait kondisi itu, Lukman berkata:
“Akibat tidak BEP, sebagian armada terpaksa saya jual , dan tahun ini saja terdapay empat perusahaan pelayaran besar yang gulung tikar. Apalagi mereka memiliki kewajiban di bank. Karena itu, kami berpendapat Seharusnya pemerintah lebih mendayagunakan armada yang sudah ada, dan tidak justru membangun kapal-kapal baru”.
Ladjoni menambahkan bahwa tujuan Tol Laut adalah untuk menumbuhkan perekonomian di daerah yang terpencil. Untuk itu, perlunya pengalihan alokasi subsidi untuk pengembangan komoditas di daerah masing-masing sesuai dengan potensinya. Pungkas Ladjoni: “Dengan demikian kapal akan dapat muatan balik, karena potensi daerah sudah tergarap dan dapat menjadi penghasil komoditas untuk dijual ke Pulau Jawa. Misalkan bangun cold storage di daerah timur, supaya produk ikannya dapat diangkut ke Jawa, atau di Banda dikembangkan potensi minyak kayu putihnya, dan sebagainya, sehingga akan berhasil menjamin stabilitas harga keekonomian nasional”. (Erick Arhadita)