TANGERANG-MARITIM: Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor meminta Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) agar mengutamakan prinsip hubungan industrial Pancasila, ketika membantu anggotanya menghadapi masalah atau konflik ketenagakerjaan di perusahaan. Yaitu mengedepankan prinsip-prinsip adaptif dan kolaboratif melalui musyawarah untuk mufakat, kekeluargaan, dan gotong royong.
“Prinsip hubungan industrial penting untuk meredam gejolak bidang hubungan industrial, sekaligus mendorong tumbuhnya hubungan industrial yang harmonis dan berkontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi Indonesia,” kata Wamenaker saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) VIII SP BPJS Ketenagakerjaan, bertajuk “Aksi-Kolaborasi-Eksistensi”, di Tangerang, Banten, Kamis (4/8/2022).
Menurut Afriansyah Noor, pihaknya sangat terbuka dan bersedia mendengarkan semua saran dan kritik yang sifatnya membangun, agar ke depannya kerja sama dalam membangun dunia ketenagakerjaan bisa terus menjadi lebih baik.
Dikatakan, Munas VIII SP BPJS Ketenagakerjaan merupakan momentum yang sangat penting dan strategis bagi SP BPJS Ketenagakerjaan untuk bermusyawarah menentukan arah dan langkah organisasi di masa depan. Hal ini bertujuan untuk menjadikan organisasi menjadi semakin solid, kuat, dan relevan dengan melakukan perubahan dan penyesuaian yang diperlukan demi kepentingan dan kemajuan organisasi.
Is mengatakan ada lima ciri-ciri khusus hubungan industrial Pancasila. Pertama, mengakui dan menyakini bahwa bekerja bukan sekadar mencari nafkah, melainkan juga sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, kepada sesama manusia, masyarakat, bangsa, dan negara.
Kedua, pekerja bukan hanya sekadar faktor produksi, melainkan sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya. Ketiga, antara pekerja dan pengusaha bukan mempunyai kepentingan yang bertentangan, melainkan mempunyai kepentingan yang sama untuk memajukan perusahaan.
Keempat, setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus disesuaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan.
Kelima, adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak. Keseimbangan dicapai bukan didasarkan atas perimbangan kekuatan, melainkan atas dasar rasa keadilan dan kepatutan. (Purwanto).