JAKARTA-MARITIM : Industri Hasil Tembakau (IHT) kembali mendapat tekanan dari pemerintah, yang berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Rencana revisi tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi, menilai PP 109/2012 yang berlaku saat ini masih mumpuni dan sudah tepat dalam mengatur ekosistem pertembakauan dengan baik.
“Poin-poin revisi yang didorong oleh Kementerian Kesehatan secara jelas sudah tercantum dalam PP 109/2012 yang berlaku saat ini,” terangnya pada acara Diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) bertema “Revisi PP 109/2012, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Hasil Tembakau Nasional”, di Jakarta, Selasa (14/2).
Hadir pula pada kesempatan tersebut Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan dan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad.
Menurut Benny, PP 109/2012 yang berlaku saat ini telah mengatur berbagai desakan yang dilontarkan oleh Kementerian Kesehatan, misalnya, pada Pasal 23 yang telah menyebutkan tentang pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun. Pasal 49 yang menjelaskan pengaturan Kawasan Tanpa Rokok, Pasal 31 yang mengatur secara rinci tentang iklan ruangan, Pasal 37 yang mengatur secara ketat terkait merek (brand) ataupun aktivitas produk, serta Pasal 47 yang mengatur terkait sponsorship.
“Rencananya, revisi PP 109/2012 ini disebut bertujuan untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Namun, data yang dijadikan acuan oleh Kementerian Kesehatan adalah data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 yang menyebutkan bahwa prevalensi perokok anak berada di angka 9,1%,” ungkapnya.
Hal tersebut, lanjutnya, kontradiktif dengan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS). Yang menunjukkan bahwa prevalensi perokok anak di bawah 18 tahun sudah turun selama lima tahun terakhir.
Data resmi BPS menunjukkan bahwa prevalensi perokok anak umur di bawah 18 tahun telah turun dalam beberapa tahun terakhir menjadi 3,44% pada 2022, dari angka 3,87% pada 2019. Dalam hal ini, Gaprindo melihat, metode dan proses survei yang seringkali dijadikan referensi oleh Kementerian Kesehatan juga tidak pernah disampaikan secara transparan.
“Gaprindo dan para anggotanya berkomitmen untuk tidak menjual rokok ke anak di bawah umur 18 tahun. Kami juga berperan aktif dalam upaya ini melalui program ‘Cegah Perokok Anak’. Upaya serupa untuk mencegah akses penjualan dan pembelian rokok kepada anak-anak yang bersifat kolaboratif harus digalakkan lagi, dan dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari orang tua, tenaga pendidik, pedagang, pihak swasta, hingga pemerintah,” jelas Benny.
Inisiatif Gaprindo untuk mencegah akses terhadap penjualan dan pembelian rokok kepada anak-anak disosialisasikan kepada para mitra ritelnya, karena mereka yang berada di garda depan dan bertemu perokok secara langsung.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan dinilai belum optimal dalam melakukan berbagai program edukasi kepada anak-anak untuk pencegahan akses tersebut. Selama ini, Kementerian Kesehatan belum pernah menyampaikan kepada publik terkait efektivitas berbagai program yang dilaksanakan guna menurunkan prevalensi perokok anak.
Tidak hanya itu, ujarnya, penerapan Kawasan Tanpa Rokok yang selama ini dilakukan juga belum pernah ada penilaian valid dan akurat atas capaiannya di setiap kota maupun daerah. Karena itu, Gaprindo menyarankan, sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi komprehensif dengan indikator yang akurat baik di tingkat nasional maupun daerah, sebelum memutuskan untuk melakukan revisi PP 109/2012.
“Indikator dan justifikasi revisi regulasi yang saat ini didorong oleh Kementerian Kesehatan perlu ditinjau ulang,” tekan Benny.
Ditambahkan, proses revisi ini tidak sesuai dengan UU 12/2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tepatnya Pasal 96, yang menyebutkan bahwa setiap pembentukan regulasi harus ada proses konsultasi publik dan transparansi di setiap tahap perumusan.
“Tetapi kami sebagai pemangku kepentingan utama tidak pernah dilibatkan atau diberi kesempatan untuk memberikan pandangan selama proses revisi ini berlangsung. Hal ini sangat bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam mengedepankan transparansi serta menghadirkan iklim usaha yang kondusif dan ramah terhadap investasi,” papar Benny.
Perbanyak sosialisasi dan edukasi
Senada dengan Benny, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, mengungkapkan PP 109/2012 yang berlaku saat ini masih relevan untuk diterapkan. Meskipun pelaksanaannya masih banyak kekurangan.
“Pemerintah seharusnya mengutamakan dan memperkuat aspek sosialisasi, edukasi, serta penegakan implementasi,” katanya.
Henry menyebutkan, usulan revisi PP 109/2012 lebih mengarah pada pelarangan, bukan pengendalian. Hal ini dapat membuat kelangsungan iklim usaha IHT, sebuah usaha yang legal, menjadi semakin restriktif di Indonesia. “Padahal, kalau mengacu pada ketentuan perundang-undangan, seharusnya ditekankan pada pengendalian. Bukan pada pelarangan.”
Selain itu, Henry menambahkan, GAPPRI memberikan dua rekomendasi bagi pemerintah demi menjaga kelangsungan usaha IHT di tanah air. Pertama, menjalankan mandat UUD 1945 sebagaimana Pasal 33 Ayat 4 bahwa perekonomian nasional diselenggarakan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Kedua, harmonisasi regulasi demi kelangsungan IHT dan memberi arah yang jelas bagi seluruh pemangku kepentingan IHT. Saat ini, terdapat lebih dari 446 regulasi yang diterbitkan oleh berbagai kementerian/lembaga baik di pusat dan daerah. Produk hukum tersebut isinya menekan sisi produksi dan sisi konsumsi produk rokok yang legal.
Dari 446 regulasi tersebut berdasarkan kajian GAPPRI, sebanyak 400 (89,68%) terdapat regulasi terkait pembatasan tembakau dan produknya (tobacco control), 41 (9,19%) terdapat peraturan lokal yang mengatur soal cukai hasil tembakau, sementara 5 (1,12%) regulasi mengatur isu ekonomi/kesejahteraan.
“Jelas sekali terlihat bahwa hegemoni rezim kesehatan kuat mempengaruhi kebijakan tata kelola industri hasil tembakau yang legal di Indonesia,” tegas Henry.
Sedangkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, memaparkan industri hasil tembakau memiliki kontribusi besar bukan hanya terhadap penerimaan negara tetapi juga lapangan kerja dan perputaran ekonomi masyarakat.
Disebutkan, pada 2023, penerimaan cukai IHT diperkirakan akan mencapai Rp228 triliun. Angka tersebut naik sekitar Rp19,96 triliun atau sekitar 9,5 persen dibandingkan tahun lalu.
Terkait itu, menurut Tauhid, perlu ada rumusan formula baku dengan tetap memperhatikan dimensi pengendalian (kesehatan), tenaga kerja, penerimaan negara, peredaran rokok illegal dan petani tembakau dengan mempertimbangkan data update tiap tahunnya.
“Dilihat kembali efektifitas PP 109/2012 terhadap prevalensi merokok anak dan pengaruh pencantuman gambar dan tulisan sebesar 40%,” tutupnya. (Muhammad Raya)