Jakarta, Maritim
Malang benar nasib biota laut yang ada di perairan Indonesia saat ini. Mau demo tidak bisa, mau protes juga tidak bisa, akhirnya diam saja lalu mati.
“Saat ini, biota laut kita sudah mulai memakan sampah plastik yang terpecah-pecah menjadi mikroskopis. Dari penelitian, 24% ikan di laut Indonesia sudah mengkonsumsi sampah plastik. Parahnya lagi, di negara Amerika Serikat angka itu telah mencapai 65%, tegas Deputi Bidang Koordinasi SDA dan Jasa Kementerian Kemaritiman, Agung Kuswandono, saat workshop ‘Pengembangan dan Tantangan Industrial Plastik Degradable’, yang diadakan oleh Direktorat Industri Kimia Hilir Kemenperin, di Jakarta, kemarin.
Acara workshop ini dibuka oleh Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono, pembicara dari KLH, Bea dan Cukai, kalangan asosiasi, dengan moderator Direktur Industri Kimia Hilir Teddy C Sianturi.
Menurut Agung, biota laut yang sudah makan sampah plastik itu di antaranya ikan paus, lumba-lumba, kura-kura, penyu, singa laut. Bahkan tubuh mereka terlilit oleh plastik.
“Ini bukan main-main, karena sudah dilakukan penelitian, bahkan pada 2050 jumlah botol sampah di laut lebih banyan ketimbang jumlah ikannya. Jika kondisinya sudah begitu, sektor pariwisata terancam tidak akan mencapai target 20 juta wisman. Padahal, sektor ini mulai dikembangkan dan sebagai top priority bagi pemerintah,” urai Agung.
Saat ini, kawasan pesisir, pantai dan pulau terluar, kondisinya dipenuhi sampah. Apalagi kalau musim angin barat, sampah itu tidak hanya dari Indonesia, tapi disumbang juga oleh negara tetangga. Di P Nipah kondisinya lebih mengkuatirkan, karena sampah itu tidak hanya dari Indonesia, tapi disumbang juga oleh Malaysia dan Singapura.
Yang lebih parah lagi, kata Agung, kapal dagang juga membuang sampah ke laut. Karena di pelabuhan tidak ada tempat pembuangan sampah.
“Kita tidak perlu tersinggung disebut sebagai produsen sampah kedua di dunia setelahn China. Kita tidak ribut, tapi bagaimana menangani sampah ini ke depannya. Kita perlu awareness bersama mengatasi ini,” ujarnya.
Untuk mengatasi ini, tambahnya, pemerintah harus membuat regulasi. Bahwa sampah plastik yang diproduksi sudah bisa terurai dalam lima tahun. Bukan 100-500 tahun seperti sekarang ini.
“Kementerian dan lembaga harus punya komitmen bersama secara nasional. Tidak perlu saling menyalahkan. Yang penting ada langkah konkrit bisa menyelesaikan masalah ini. Kita sudah darurat sampah dan sudah lampu merah,” pinta Agung.
Di tempat sama, Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), Christine Halim, menyatakan laut Indonesia itu sangat luas dan terbuka. Sehingga sulit mengontrolnya dan dampaknya negara-negara tetangga banyak yang membuang sampah ke laut nasional.
“Karema itu kita saat ini tengah merancang dan membangun kapal untuk mengangkut sampah,” katanya.
Sedangkan Dirjen IKTA Kemenperin, Achmad Sigit Dwiwahjono, menjelaskan saat ini sudah dikembngkan bahan plastik ramah lingkungan yang mudah terurai. Di beberapa negara maju bahan plastik degradable sudah diproduksi secara komersial.
Namun kebanyakan bahan baku untuk plastik degradeble ini masih menggunakan SDA yang tidak dapat diperbarui dan tidak hemat energi. Sehingga relatif lebih mahal.
Indonesia memiliki satu produsen plastik biodegradable berbasis pati singkong dan khitosan, yaitu PT Inter Aneka Lestari Kimia (enviplast), dengan kapasitas produksi 6.600 ton per tahun. Lalu satu produsen plastik degradeble berbasis plastik konvensional dengan aditif oxium, yaitu PT Tirta Marta (ecoplast).
Menurut Sigit, industri plastik akan dikembankan dari hulu sampai hilir. Indonesia kini masih kekurangan bahan baku plastik. Pada 2017 ini, kapasitas industri hulu plastik 850.000 ton per tahun, sedangkan kebutuhan industri hilir mencapai la juta ton.
“Tentunya kita masih perlu banyak mengimpor bahan baku plastik. Karena itu, Kemenperin selalu mendorong investasi di sektor hulu, untuk memenuhi kebutuham hilir yang dapat ditingkatkan dari tahun ke tahun,” ungkap Sigit.
Saat ini, sudah ada komitmen dari industri hulu seperti PT Chandra Asri Petrochemical, PT Lotte Chemical Titan, PT Pertamina dan PT Polytama Propindo untuk terus meningkat kapasitas produksinya. Bahwa pada 2021 ada tambahan bahan baku plastik sebesar dua juta ton per tahun dari empat produsen utama bahan baku plastik ini. Sehingga diharapkan bisa memenuhi sebagian kebutuhan industri hilir plastik.
“Kita harapkan defisit bahan baku plastik akan sedikit demi sedikit kita atasi,” pinta Sigit.
Selanjutnya Kemenperin terus mendorong konsumen industri plastik untuk selalu melakukan upaya-upaya mendaur ulang. Karena plastik merupakan suatu bahan yang tentunya secara ekologi sulit terurai. Di samping itu, Kemenperin mendorong konsumen ini bisa melakukan pengelolàan sampah-sampah yang sudah tidak terpakai lagi untuk dilakukan manajemen pengelolaan sampahnya.
“Kemenperin tidal bisa berdiri sendiri dan tidak bisa melakukan sosialisasi sendiri tanpa bantuan KLHK, asosiasi daur ulang plastik dan pihak terkait lainnya mendorong masyarakat agar manajemen pengolahan sampah plastik benar-benar dilakukan,” ujar Sigit. (M Raya Tuah)