Jakarta, Maritim
Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (APCASI) mendesak Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengggugurkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 136/2015 tentang Perubahan Keempat atas PMK No 75/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar (BK), khususnya mengenai BK dan Tarif BK terhadap Cangkang Kelapa Sawit.
“Kami para pengusaha yang tergabung dalam APCASI pada dasarnya mendukung upaya pemerintah untuk melakukan kebijakan pungutan pajak demi kelancaran pembangunan. Hanya saja yang jadi persoalan adalah besaran nilai pajak pada PMK tersebut,” tegas Sekjen APCASI, Yakup Chandra, kepada wartawan, di Jakarta, kemarin.
Menurut Yakup, pada Maret 2015, cangkang kelapa sawit yang merupakan limbah dari pabrik CPO, yang semula dapat dibeli dari pabrik tanpa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), mulai diberlakukan adanya PPN 10%.
“Kami menerima dengan baik dan wajar, meskipun limbah cangkang kelapa sawit memiliki nilai jual yang baik sebagai bahan bakar ramah lingkungan,” ujarnya.
Namun, pada Juli 2015, tiba-tiba keluar aturan yang mengejutkan, yakni PMK No 133/2015 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Di mana di dalamnya ditetapkan besaran nilai dana pungutan atas cangkang kelapa sawit sebesar US$7 per metrik ton (MT).
Padahal, di PMK No 136/2016, pelaku usaha cangkang kelapa sawit sudah dikenakan BK sebesar US$10 MT.
“Setelah kami melakukan protes terhadap berbagai PMK tersebut, maka terbitlah deregulasi dari pemerintah, yakni Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No 30/2016 bahwa dana pungutan pungut BPDPKS diturunkan jadi US$3 per MT dari sebelumnya US$7 per MT dan mulai Februari 2017 akan naik jadi US$5 per MT. Kemudian seterusnya akan naik secara berkala,” Aturan seperti apa itu,” tekan Yakup dengan nada agak tinggi.
Dijelaskan, APCASI meminta PMK No 136/2015 juga dibatalkan, atau ditinjau ulang. Keberatannya adalah pelaku usaha cangkang kelapa sawit tidak pernah diajak bicara terlebih dahulu. Lalu PMK tersebut tidak pernah disosialisasikan, sehingga menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap modal yang sudah ditanam selama ini, terutama dalam usaha ke depannya.
“Keganjilan lainnya, PMK 136/2015 sebelumnya tidak ada diatur dalam PMK No 75/2012 berikut lampirannya. Sehingga menimbulkan kerancuan hukum dan berbanding terbalik dengan pengenaan tarif CPO yang mendapatkan keringanan. Ini kan aneh,” ucapnya.
Hal lainnya, sangat tidak beralasan penetapan BK cangkang kelapa sawit mengikuti harga reference CPO, karena cangkang kelapa sawit tidak jadi variable harga penentuan cost of goods sales dari CPO. Apalagi, cangkang kelapa sawit dianggap sebagai limbah bagi pabrik.
Di sisi lain, kenaikan harga CPO tidak meningkatkan harga jual cangkang kelapa sawit dan tidak meningkatkan pendapatan eksportir cangkang kelapa sawit. Tidak seperti CPO.
“Kami kuatir, jika PMK No 136/2015 ini tetap diberlakukan, maka industri cangkang kelapa sawit akan diambil alih oleh pemodal asing. Akibatnya, kita kembali jadi penonton atas hasil bumi kita sendiri, seperti yang sudah terjadi saat ini,” urai Yakup.
Untuk itu, APCASI mengusulkan agar ekspor cangkang kelapa sawit tidak dikenakan BK, karena sudah dibebankan pungutan PPn pembelian 10% dan pungutan dana kelapa sawit sebesar US$5 per ton.
“Selanjutnya, kami memohon kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengubah PMK No 136/2015. Karena sudah cukup lama kegiatan bisnis tidak berjalan dengan baik akibat kebijakan PMK 136/2015 tersebut,” tutur Yakup.
Selama ini, ekspor cangkang kelapa sawit mencapai 1,5 juta MT, dengan nilai Rp273 miliar per tahun. (M Raya Tuah)