Asosiasi Perusahaan Alat dan Mesin Pertanian Indonesia (Alsintani) mengatakan, kementerian dan lembaga yang menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negera (APBN) wajib memaksimalkan pembelian produk dalam negeri.
“Bagaimana semaksimal mungkin APBN yang ada di kementerian dan lembaga negara tersebut dipakai untuk membeli produk alat mesin pertanian yang diproduksi di dalam negeri,” tegas Ketua Umum Alsintasi, Mindo Sianipar, pada kesempatan ‘Temu Usaha Alsintani, Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam rangka Optimalisasi Penggunaan dan Pengadaan Alsin Produksi Dalam Negeri Tahun 2017’, di Jakarta, Selasa (24/1).
Pada kesempatan itu, hadir sebagai pembicara Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian (IPAMP) Kemenperin, Direktur Alat Mesin Pertanian Kementan Suprapti dan anggota Alsintani dari seluruh Indonesia.
Dihadapan para anggotanya, Mindo mangatakan, saat ini ada kecenderungan bahwa APBN yang ada digunakan untuk membeli produk impor ketimbang membeli produk dalam negeri.
Padahal sejauh ini, pemerintah sudah banyak mengeluarkan peraturan untuk mendorong Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) terutama untuk belanja yang menggunakan APBN.
D sisi lain, anggota Komisi IV F-PDI Perjuangam itu menilai, dalam mmenetapkan tender pengadaan barang dan jasa pemerintah, pihak Kemenperin dan Kementan bisa menambahkan bobot lain berupa ketentuan perusahaan tersebut harus memiliki jaringan kerja untuk produk dan purna jualnya hingga ke tingkat kabupaten. Sehingga nantinya tender tersebut tidak sekadar karena faktor harga saja dalam memenangkan tendernya.
“Ini penting, karena jika ada persoalan dengan produk alat mesin pertaniannya yang rusak di kabupaten, maka bisa diperbaiki di tingkat lokal saja. Tidak perlu harus membawa teknisinya dari pusat,” pintanya.
Semua itu, tambah Mindo, untuk menjaga kegunaan dari APBN. Karena diberikan alat harus bisa digunakan. Di mana adanya APBN ini adalah demi untuk mencapai kedaulatan pangan di Bumi Indonesia. Seperti yang diamanatkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi.
Sementara Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian Kemenperin, Zakiyudin, menambahkan optimalisasi penggunaan produk dalam negeri untuk produk alat mesin pertanian saat ini masih belum maksimal. Di mana permasalahan yang dihadapi masih saja terjadi di lapangan.
Permasalahan itu di antaranya, industri dalam negeri belum sepenuhnya dapat memasok kebutuhan alsintan dalam negeri. Khususnya bagi alsintan yang berukuran besar seperti traktor roda empat dan combine harvester. Bahkan beberapa komponen di antaranya masih harus didatangkan dari luar negeri, misalnya ban untuk traktor roda empat, prime mover dan gear box.
Hal lainnya, masih banyak produk sejenis yang diimpor dari negara lain, dengan harga yang lebih murah, khususnya peralatan pertanian dari China. Kemudian penguasaan teknologi yang masih terbatas. Khususnya penguasaan teknologi masih pada tingkat medium advance.
“Untuk standar beda lagi persoalannya. Pada umumnya standar produk alsintan sudah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI). Namun kenyataannya di lapangan belum diaplikasikan. Terutama untuk produk-produk impor. Yang masih memakai SNI sukarela,” ujar Zakiyudin.
Karena itu, jelasnya, beberapa produk alsin dalam waktu dekat harus segera ditetapkan SNI wajibnya. Semua itu dilakukan dalam rangka untuk mendukung program kedaulatan pangan, yang memerlukan adanya mekanisasi pertanian, yang bertujuan meningkatkan produktivitas kegiatan pertanian.
Sedangkan Direktur Alat Mesin Pertanian Kementan, Suprapti, mengungkapkan saat ini mekanisasi pertanian menuju pertanian modern masih didukung impor alat mesin pertanian yang cukup tinggi di dalam negeri.
“Saya mencatat, untuk pengadaan alsintan di Kementan bagi traktor roda empat, tujuh perusahaan dalam negeri mendatangkan barang tersebut 100% dari impor. Hal yang sama juga berlaku untuk produk jenis rice transplanter. Jumlah yang diimpor cukup tinggi mencapai 3.000 unit. Hanya traktor roda dua saja yang 90% produksi dalam negeri dan sisanya masih impor,” tekannya.
Suprapti menyebutkan, untuk produk pompa air 60% sudah produksi dalam negeri, sisanya masih perlu diimpor. Cultivator dan excavator mini masih 100% diimpor. Sedangkan untuk produk hand sprayer 100% sudah produksi lokal.
Untuk itu, katanya, pada 6 Januari 2017 lalu antara Kementan dan PT Pindad telah dilakukan MoU pengembangan industri alsintan. Tujuannya agar ketergantungan terhadap produk alsin impor dapat dikurangi secara bertahap sampai akhirnya semua dapat 100% diproduksi di dalam negeri.
“Pengembangan industri alsintan tersebut untuk mencapai ketahanan pangan nasional sesuai Nawacita Presiden Jokowi. Di sisi lainnya, Kemenperin dapat mempercepat pemberlakuan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) bagi berbagai produk alsin,” pinta Suprapti.
Ditambahkan, penggunaan produksi dalam negeri harus terus disokong, untuk nantinya menggantikan barang-barang impor. Sebab kalau tidak demikian sampai kapan industri dalam negeri bisa besar.
“Maka dari itu, Kemenperin agar dapat segera mencarikan solusinya, bagaimana caranya produk lokal itu harus terus dikedepankan. Termasuk dalam hal untuk hitungan TKDN dan SNI,” harapnya.
Pasalnya, saat ini SNI perlu diperhatikan, karena selama ini pemberlakuannya masih bersifat sukarela. Untuk itu perlu segera diberlakukan wajib saja. Terutama untuk membendung masuknya produk-produk impor.
Karena optimalisasi industri dalam negeri untuk meminimalisasi produk impor. Di samping itu, kawalan teknologi perlu juga oleh Kemenperin, untuk mendukung industrialisasi dan memberdayakan alsin lokal .
“Sehingga spare parts saja tidak perlu diimpor lagi,” ujar Suprapti. (M Raya Tuah)