Jakarta, Maritim
Percepatan pengembangan produksi mobil listrik di dalam negeri perlu didukung kesiapan penerapan teknologinya. Untuk itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong pelaku manufaktur otomotif dan perguruan tinggi terus melakukan kegiatan riset inovasi teknologi.
“Teknologi mobil listrik itu ada macam-macam tipe, antara lain plug in hybrid, hybrid, dan electric vehicle. Ini yang akan kita coba,” kata Menteri Perindustrian (Menperin), Airlangga Hartarto, di Jakarta, Selasa (22/5) malam.
Saat ini, tambahnya, beberapa manufaktur otomotif Indonesia telah siap berinvestasi untuk mengembangkan kendaraan emisi karbon rendah (low carbon emission vehicle/LCEV). Atau konsep ramah lingkungan. Termasuk mobil listrik.
Di antaranya, Mitsubishi, yang telah menghibahkan 10 mobil listrik kepada pemerintah. Kemudian, Toyota juga tengah melakukan studi bersama UI, UGM, ITS dan ITB. Karena salah satu kunci pengembangan mobil listrik adalah penguasaan teknologi energy saving, yaitu penggunaan baterai. Di mana, Indonesia punya sumber bahan baku untuk pembuatan komponen baterai, seperti nikel murni.
Nikel murni bisa diproduksi dan diolah di dalam negeri. Karena industri pengolahan nikel murni sudah ada di Morowali dan Halmahera. Selain itu, bahan baku kobalt terdapat di Bangka.
“Dengan ketersediaan dua sumber bahan baku tersebut, nikel murni dan kobalt, teknologi baterai mobil listrik dapat kita kuasai. Atau dengan penerapan teknologi tersebut, mobil yang ramah lingkungan juga bisa menggunakan fuel cell atau bahan bakar hidrogen,” ujar Airlangga.
Kemenperin menargetkan, pada 2025, kendaraan mobil listrik dapat diproduksi sebanyak 20% di Indonesia. Sasaran ini disesuaikan dengan tren dunia. Namun, jika permintaan tinggi, produksi bisa melebihi dari target yang ditetapkan.
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE), Harjanto, menjelaskan pengembangan kendaraan listrik dalam ngeri perlu pentahapan yang terintegrasi. Seperti peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional.
Misalnya, aspek penyiapan regulasi, atau payung hukum, infrastruktur pendukung dan teknologi. Tapi yang paling utama dalam pengembangan mobil listrik adalah industrinya harus ada di dalam negeri.
“Jangan sampai di satu sisi kita ingin mengurangi impor minyak dan gas, tapi di bagian lain impornya malah lebih besar seperti komponen baterainya,” ungkap Harjanto.
Apalagi, hak itu seiring dengan komitmen Indonesia mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% secara mandiri dan sebesar 41% dengan bantuan internasional pada 2030 di COP21 di Paris. (M Raya Tuah)