Jakarta, Maritim
SEIRING dengan maraknya kasus kecelakaan pelayaran yang melibatkan moda transportasi di perairan, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mendukung gagasan untuk melakukan audit terhadap moda angkutan penyeberangan, termasuk kapal feri. Soerjanto Ketua KNKT katakan, audit dilakukan guna mengetahui problem angkutan penyeberangan secara menyeluruh, untuk kemudian mencari solusi perbaikan. Ungkapnya: “Fenomena kapal feri ini unik. Dibenci dan diperlukan, dibenci dan dirindu. Kalau ada, begitu kondisinya. Tapi kalau enggak ada, harus seperti apa kondisinya. Ini yang perlu kita perbaiki ke depan”.
Presiden Joko Widodo, beberapa waktu berselang memerintahkan agar seluruh angkutan penyeberangan dievaluasi, sebagai respons atas kasus KM “Sinar Bangun” yang tenggelam di Danau Toba. KNKT telah sampaikan sejumlah rekomendasi menyusul terjadinya musibah beruntun belakangan ini. Selama hampir 7 bulan di tahun 2018 ini, KNKT telah selidiki 28 kasus kecelakaan kapal yang sering libatkan kapal roll on-roll off (ro-ro).
Setelah mengevaluasi kasus kebakaran, seperti yang menimpa KMP “Paray” rute pelabuhan Jagoh-Penarik, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, KNKT merekomendasikan agar dibentuk semacam regulated agent (RA). Seperti kargo udara, barang-barang yang diangkut kapal feri seharusnya diperiksa untuk memastikan barang itu tidak berbahaya. Kalaupun berbahaya, perlu ada ketentuan mengemas secara khsus dan mengangkutnya, dan diperlakukan sebagai semacam material safety data sheet (MSDS).
“Para pengemudi truk yang masuk ke kapal ro-ro biasanya tak tahu persis barang apa yang diangkut, karena pengemudi hanya membawa truk ke agen ekspedisi, dan fihak agen yang memuat bermacam jenis barang. Bila truk sudah penuh, kemudian dibawa ke pelabuhan untuk diangkut kapal ke pelabuhan tujuan. Tahu-tahu di tengah laut truknya terbakar, yang berakibat kebakaran di palka, hingga kapal nya ikut terbakar” tutur Ketua KNKT.
Menurut Soerjanto, syarat kelaikan kapal, tak dengan sendiriya jadi satu-satunya landasan dalam keselamatan pelayaran. Nakhoda harus mampu mencermati kondisi laut (sea state) dan lakukan perhitungan banding dengan stabilitas dan konstruksi lambung kapal. Karena itu, kelaikan kapal harus diimbangi dengan kelaikan sumber daya manusia dan faktor cuaca. Dengan lakukan perbandingan matematis serta kondisi cuaca, kasus KM “Lestari Maju” yang mengalami kebocoran lambung dan akibat cuaca buruk, tak perlu terjadi. Imbuh: “Kapal laik layar belum tentu laik laut juga. Kalau sesuai kelasnya dinyatakan hanya mampu berlayar di sea state 5, ya harus di sea state 5. Kalau nakhoda sampai masuk ke sea state 6 atau 7, yang salah tentu nakhodanya, kenapa enggak bisa lihat ramalan cuaca”.
Soal dualisme kelembagaan angkutan penyeberangan –sisi bisnis diatur oleh Ditjen Hubdar , sedang di sisi keselamatan diatur Ditjen Hubla, KNKT cenderung berpendapat agar urusan yang menyangkut kapal laut dilimpahkan kepada Ditjen Hubla. Pungkas Soerjanto: “Tetapi, sebelum saya mengatakan itu, kami harus teliti dulu regulasi-regulasi yang berlaku seperti apa, tumpang-tindihnya seperti apa. Kami akan hati-hati”.***MRT’/2701