Jakarta, Maritim
Sekolah Tinggi Imu Pelayaran (STIP) Jakarta kembali menjadi sorotan dan kecaman akibat tewasnya Amirullah Aditya Putra (19), taruna tingkat I STIP karena dianiaya oleh seniornya. Pasalnya, kasus ini bukan hanya kali ini saja terjadi. Peristiwa serupa pernah terjadi pada tahun 2008 (dua kasus), 2014 satu kasus, dan terakhir pada 10 Januari 2017.
Dari ke-4 kasus kekerasan itu mengakibatkan 4 taruna yunior STIP meninggal. Polisi yang menangani kasus tersebut menyeret sejumlah taruna senior sebagai tersangka ke pengadilan.
Meski Kementerian Perhubungan telah merombak sistem pembinaan taruna, termasuk pengawasannya, namun kasus itu tak serta merta berhenti. Terbukti kasus kekerasan kembali terjadi pada 10 Januari 2017 yang merenggut nyawa taruna yunior Amirullah.
Sistem pendidikan di STIP dan sekolah pelayaran lainnya, memang agak mirip pendidikan di lingkungan militer. Terutama soal kedisiplinan dan pembentukan fisik yang kuat dan tangguh untuk menghadapi medan di laut dengan ombak yang besar.
Dengan mengambil sistem itu, hukuman yang dijatuhkan bagi taruna yang melakukan kesalahan pun mirip di militer. Tidak hanya push-up dan scot-jump, tapi terkadang juga disertai dengan pemukulan. Mestinya, pemukulan tidak dilakukan pada organ yang membahayakan.
Tragisnya, dalam kasus di STIP dan juga pernah terjadi di STPDN (Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri), pemukulan yang dilakukan senior justru mengakibatkan yuniornya meninggal. Untuk membentuk fisik yang kuat tidak perlu harus dengan kekerasan, sebaiknya melalui latihan yang rutin dan terarah.
Apakah kasus demikian akan dibiarkan, tentunya tidak. Pihak kepolisian segera mengamankan pelaku dan dijadikan tersangka, sementara pimpinan STIP langsung memecat 4 senior yang telah jadi tersangka, sedang satu lagi diskors.
Menteri Perhubungan juga bertindak cepat. Selain memecat ketua STIP, juga membekukan kegiatan drumb band dan pedang pora taruna. Kedua kegiatan itu dianggap sebagai pemicu terjadinya kekerasan senior terhadap yuniornya. Bahkan, semua taruna tingkat I untuk sementara akan direlokasi ke BPIP Tangerang, agar proses pendidikan taruna yunior terpisah dengan seniornya.
Kasus kekerasan di STIP ini perlu dihentikan agar tidak menular ke sekolah pelayaran lainnya. Kemenhub harus menjamin kekerasan tidak akan terulang kembali, sehingga tidak akan merusak nama baik STIP yang sudah membumi di dalam dan luar negeri.
Lulusan STIP dan sekolah tinggi pelayaran lainnya banyak yang telah bekerja di perusahaan pelayaran dalam dan luar negeri. Ini membuktikan kualitas pendidikan tersebut cukup baik. Pelaut muda dari Indonesia banyak disukai pihak asing karena umumnya bekerja tekun, tidak pemabuk dan tidak banyak protes.
Sementara banyak pelaut yang ingin bekerja di luar negeri karena gajinya cukup tinggi, di dalam negeri kekurangan perwira pelaut. Untuk itu, pemerintah perlu terus menggenjot pendidikan pelaut dengan kualitas yang makin tinggi. Selain itu, diklat pelaut juga perlu ditingkatkan kualitasnya sesuai standar internasional, sehingga mampu menghasilkan pelaut yang handal, terutama untuk memenuhi kebutuhan pelayaran dalam negeri.***