JAKARTA, MARITIM.
Gerakan Nasional Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing (GNP2DS) dipastikan bakal dilaksanakan tahun 2019 setelah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) tentang GNP2DS. Gerakan nasional ini akan dilakukan seluruh komponen bangsa di semua bidang kehidupan secara terencana, terkoordinir, terpadu dan berkesinambungan. Baik di tingkat pusat dan daerah, maupun pada skala mikro dan mikro.
“Draft Inpres GNP2DS saat ini sudah berada di Sekretariat Negara untuk ditandatangani Presiden Joko Widodo,” kata Wakil Ketua Lembaga Produktivitas Nasional (LPN) Iskandar Simorangkir dan Ketua Tim Kerja LPN Bomer Pasaribu kepada pers seusai rapat pleno paripurna LPN di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Iskandar yang juga menjabat sebagai Deputi I (Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan) Kementerian Koordinator Perekonomian mengatakan, pelaksanaan GNP2DS telah ditetapkan sebagai salah satu program kerja LPN 2019. Program kerja lainnya antara lain, pengukuran produktivitas dan daya saing, penetapan sistem pengupahan dikaitkan dengan produktivitas dan sistem bagi hasil peningkatan produktivitas, serta pengembangan sistem kompetensi nasional di bidang vokasi dan kewirausahaan.
Dijelaskan, LPN yang dibentuk tahun 2005 berdasarkan Peraturan Presiden No.50/2005, merupakan lembaga non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sebagai Ketua LPN adalah Menteri Ketenagakerjaan, Wakil Ketua adalah Deputi I Kemenko Perekonomian, dan Sekretaris dijabat Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kemnaker. Keanggotaan LPN sebanyak 21 orang berasal dari lintas kementerian dan lembaga.
Iskandar mengakui, meski telah berusia 13 tahun LPN belum banyak dikenal masyarakat karena beberapa faktor. Antara lain disebabkan kurangnya pemahaman, kesadaran dan pentingnya peningkatan produktivitas di kalangan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, dan rendahnya kualitas pekerja.
“Di negara-negara Asia, produktivtas dan daya saing Indonesia tahun 2018 meningkat dibanding 2017. Tapi posisinya masih lebih rendah dari Mongolia, Srilangka, Thailand, Cina, Malaysia dan Singapura,” kata Bomer Pasaribu.
Tahun 2018 ini, kata Bomer yang pernah menjadi Menaker, telah melakukan gerakan peningkatan produktivitas dan daya saing. Tapi belum dilakukan secara terpadu dan terus menerus berkelanjutan, melainkan masih parsial, baik di kalangan pemerintah, dunia usaha, maupun perguruan tinggi.
Ia mengaku prihatin justru sebagian besar instansi pemerintah yang seharusnya menjadi contoh malah belum melaksanakan. Misalnya, Kementerian Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
“Mestinya kementrian itu menjadi contoh, termasuk pelaksanaan revolusi mental, tapi nyatanya belum dilaksanakan,” tegasnya kepada wartawan.
Iskandar menambahkan, kunci peningkatan produktivitas dan daya saing terutama di era industri 4.0 adalah sumber daya manusia yang kompeten dan memiliki daya saing di pasar global. Untuk mewujudkan hal itu perlu dilakukan terobosan melalui pendidikan vokasi, sertifikasi dan kewirausahaan.
“Terobosan lainnya, pengembangan dan perluasan pendidikan vokasi bukan hanya SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), tapi juga Balai Latihan Kerja (BLK) yang mengacu pada Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (KKNI),” tambahnya.
Meningkat
Dalam forum itu, Dirjen Binalattas Bambang Satrio Lelono mengatakan, produktivitas dan daya saing Indonesia terus meningkat. Namun, Indonesia masih kalah dibanding beberapa negara ASEAN. Diperlukan dukungan seluruh komponen bangsa agar peningkatan produktivitas dan daya saing berjalan lebih cepat.
Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF), index daya saing global Indonesia pada 2018 naik ke peringkat 45 dari peringkat 47. Peningkatan daya saing tersebut diukur dengan 12 pilar. Yaitu kualitas institusi, infrastruktur, kondisi makro ekonomi, pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar, pelatihan dan pendidikan, efisiensi pasar barang dan pasar tenaga kerja, pengembangan pasar keuangan, penerapan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi.
“Ukuran-ukuran tersebut dapat ditingkatkan bila kita peduli terhadap peningkatan produktivitas. Baik di kalangan pemerintah, dunia usaha, dunia pendidikan/profesi maupun di masyarakat,” kata Satrio yang posisinya di LPN sebagai Sekretaris.
Selain itu, selama 2011-2017 produktivitas tenaga kerja di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada 2017, produktivitas tenaga kerja Indonesia tumbuh 2,89 persen, lebih cepat jika dibanding tahun sebelumnya yang tumbuh 1,85 persen. Hal ini menunjukkan kualitas tenaga kerja di Indonesia semakin baik.
Produktivitas jam kerja juga mengalami peningkatan. Pada 2017, kata Satrio, produktivitas jam kerja nasional sebesar Rp 39.355 per jam per tenaga kerja, meningkat dibanding 2016 sebesar Rp 38.177 per jam per tenaga. “Peningkatan ini mengindikasikan efisiensi penggunaan jam kerja oleh tenaga kerja yang semakin baik,” ujarnya. (Purwanto).