JAKARTA-MARITIM: Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Jakarta Pusat, pada 6 Februari 2019 menolak gugatan Dadi Maudi Yusuf-seorang karyawan PT JICT yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) beberapa waktu lalu.
Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Eko Sugianto dengan hakim anggota Lita Sari Seruni dan Purwanto, menolak seluruh gugatan eks anggota Serikat Pekerja (SP) JICT itu.
“Menolak gugatan rekonvensi seluruhnya dan juga menyatakan sah PHK yang dilakukan oleh manajemen JICT terhadap Dadi,” jelas Eko Sugianto dalam amar putusan sidang PHI nomor nomor: 221/Pdt. Sus-PHI.G/2018/PN.Jkt.Pst.
Setahun lalu, Dadi seorang senior manajer HRD di JICT di PHK oleh manajemen. Lelaki paruh baya ini terendus oleh Manajemen JICT telah memanipulasi gaji nya sendiri dan beberapa karyawan tanpa sepengetahuan manajemen.
“Baru ketahuan ketika manajemen melakukan audit internal,” ujar Riza Erivan, Wakil Direktur JICT kepada wartawan (7/2/2019) menanggapi putusan PHI itu.
Menurunya, kesalahan Dadi tidak bisa ditoleransi karena sangat membahayakan perusahaan. Perseroan juga tidak akan menoleransi kejahatan yang dapat merusak perusahaan dan mental profesional yang selalu menjadi standar kerja di JICT.
Sebagai operator terminal petikemas terbesar di Indonesia, imbuh Riza, tingkat kesejahteraan di JICT sudah sangat tinggi dan melebihi standar di industri.
Sebelumnya, sejumlah gugatan pekerja JICT terhadap perusahaan juga ditolak hakim. Misalnya, gugatan lima pekerja JICT terhadap manajemen terkait kenaikan gaji yang tidak sesuai ketentuan direksi.
Dalam putusan No 233/Pdt.Sus-PHI/2018/PN Jkt.Pst majelis hakim yang diketuai Wiwik Suharsono menolak seluruh gugatan para pekerja tersebut.
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan, bahwa kenaikan gaji secara sepihak yang dinikmati oleh 5 penggugat tidak sesuai dengan ketentuan direksi.
Kenaikan gaji pokok sebesar 14,26%-36,82% pada tahun 2017 yang dilakukan juga oleh Dadi Maudi Yusuf melebihi ketentuan direksi dan PKB sebesar 4,53%.
Dalam kasus lain, Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada bulan September 2018 memenangkan PT JICT dalam gugatan terhadap SP JICT, PT Empco dan 4 duty manajer JICT.
Majelis hakim secara tegas menyatakan bahwa SP JICT, PT Empco dan 4 duty manajer JICT telah melakukan perbuatan melawan hukum dan karena itu dihukum mengganti kerugian yang ditimbulkan sebesar Rp 800 juta lebih.
SP JICT bertanggungjawab atas penghentian/penghapusan plotting dan berusaha menghalang-halangi operator RTGC dari Pelindo II yang dipekerjakan oleh PT JICT serta menggantikannya dengan pekerja ilegal dari PT Empco.
“Akibat pekerjaan dilakukan oleh pekerja ilegal terjadi banyak kecelakaan dan produktivitas menurun. Dwelling time juga lama yang merugikan ekonomi nasional,” kata Riza.
PT Empco sendiri sebelumnya merupakan vendor RTGC di terminal JICT. Lantaran kontraknya berakhir, PT JICT melakukan lelang terbuka atas pekerjaan tersebut.
Dalam lelang ini PT Empco kalah. Pemenang lelang yaitu PT Multi Taly Indonesia (MTI) juga membuka lowongan kerja bagi eks pekerja Empco untuk bergabung. Sebanyak 40 orang telah ikut mendaftar.
“Namun lantaran terus diintimidasi oleh SP JICT, eks pekerja Empco itu keluar dari MTI. Jadi tidak benar jika JICT melakukan PHK massal terhadap karyawan PT Empco. Status mereka bukan pekerja JICT dan mereka kalah dalam lelang vendor untuk pekerjaan RTGC di 2018 yang dilakukan secara transparan,” jelas Riza.
Gugatan SP JICT terkait perjanjian perpanjangan kontrak JICT antara PT Pelindo II dan Hutichison juga ditolak hakim di PN Jakarta Utara.
Hakim berpendapat bahwa PN Jakarta Utara tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara nomor 312/Pdt.G/PN.Jkt.Utr. Perpanjangan kontrak JICT antara Pelindo II dan Hutchison telah ditandatangi secara sah dan telah melalui mekanisme yang transparan sesuai aturan yang berlaku.
Riza menegaskan, berbagai aksi yang dilakukan SP JICT semata hanya untuk mencari sensasi demi kepentingan segelintir orang. Selain merugikan perusahaan, berbagai tindakan memaksakan diri yang dilakukan SP JICT selama ini juga menjadi ancaman bagi perekonomian.
Apalagi JICT,kata Riza, pihaknya telah menjalankan tata kelola perusahaan yang baik dan terbukti mampu berkontribusi langsung terhadap sektor logistik di pelabuhan terbesar di Indonesia, yaitu Tanjung Priok.
“Aksi-aksi yang terus dilakukan beberapa orang anggota SP hanya upaya mencari perhatian dan sensasi. JICT dan seluruh pemegang saham telah menjalankan aturan dengan sangat tegas dan transparan. Semua proses hukum juga telah dilakukan manajemen dan terbukti setiap gugatan SP selalu ditolak hakim,” tegas Riza.(mad/hb)