Seusai liputan di Tanjung Emas Semarang, wartawan martim.com
Erick Arhadita bertolak ke Cilacap, meliput Pelabuhan Tanjung intan.
Hasil liputannya akan dimuat tiga kali tayang.
DOKTOR J. Thomas Lindblad, ahli sejarah ekonomi, dalam pertemuan internasional Association of Historian of Asia (IAHA) di Sabah, Malaysia pada akhir Juli 2000 mengatakan Cilacap adalah pelabuhan yang salah letak. Menurut Susanto Zuhdi (“Cilacap 1830-1942 Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa”), pernyataan ini cukup menarik, karena pelabuhan ini berada di pantai selatan Jawa. Padahal kebanyakan pelabuhan yang ramai dikunjungi kapal, terletak di pantai utara. Hal ini sama dengan yang terjadi atas Pelabuhan-pelabuhan Padang dan Sibolga di pantai barat Pulau Sumatera, yang hingga abad ke-19 terkenal ramai, tetapi kemudian perannya surut karena tersaing oleh Pelabuhan Belawan yang selain berada di Selat Malaka sebagai “jalur sutera” perdagangan internasional, juga lebih dekat dengan Singapura yang tumbuh sebagai hub port di kawasan Asia Tenggara.
Perbedaan pendapat tentang lokasi pelabuhan yang menghadap ke “luar” dengan pelabuan yang menghadap ke “dalam”, masih tetap ramai. Pelabuhan yang menghadap ke ”luar”dinilai lebih menguntungkan karena punya akses langsung dengan jalur pelayaran kapal internasional. Sementara itu ada pendapat yang menyebut bahwa pelabuhan yang menghadap ke “dalam” lebih baik, karena posisinya lebih dekat ke kawasan penyedia komoditas perdagangan domestik maupun ekspor.
Lepas dari debat panjang terkait letaknya, Pelabuhan Cilacap yang kini dikenal degan nama Tanjung Intan, merupakan bandar tua yang secara administratip diresmikan Gubernur Jenderal JJ Rochussen, sebagai pelabuhan umum untuk perdagangan berdasar beslit nomer 1 tanggal 29 November 1847. Namun, jauh sebelumitu di muara sungai Handaonan (yang kemudian berubah ucapan menjadi Kali Donan hingga sekarang) di era kerajaan Pasir Luhur, telah terdapat kegiatan perdagangan serta pelayaran pantai, dengan komoditas utama kopi, beras, garam, gula aren dan lain sebagainya. Selain berfungsi sbagai pusat kegiatan ekonomi, bandar kecil di tepi Kali Donan itu juga merupakan tempat berkeliarannya para teluk sandi (informan) yang mencermati informasi dan isu politik, terkait benturan kepentingan antara Kerajaan Mataram dengan Tatar Sunda.
Bagi kerajaan Mataram, Pelabuhan Cilacap mempuyai arti tersendiri. Sejak masih merupakan bandar sangat kecil yang berfungsi sebagai tempat penyeberangan ke Pulau Nusakambangan, pelabuhan Cilacap juga dinilai sebagai gerbang metafisis untuk peneguhan tahta Mataram. Sejak berkuasanya Sultan Agung, muncul keercayaan ahwa mereka yang ingin berkuasa di kerajaan Mataram, harus mampu memetik bunga wijayakusuma yang hanya tumbuh di Pulau Nusabarung, yang hanya dapat dicapai lewat penyeberangan di Pelabuhan Cilacap. Konn, karena jalur ke Nusabarung dijaga ketat oleh mahluk demonik, maka hanya mereka yang memiliki kesaktian maha tinggi yang akan mampu memetik bunga wijayakusuma, sebagai sarat menjadi penguasa di Mataram.
Selain itu dipercaya, mereka yang menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul saja, akan bisa meneguhkann diri sebagai penguasa Mataram.Terkait hal ini, terdapat telaah lebih rasional. Filosofinya: hanya mereka yang mampu mensinergikan potensi daratan berbasis agraris dengan sumber daya kelautan, akan mampu mensejhterakan karajaan Mataram.
Tumbuh kembangnya Pelabuhan Cilacap, terjadi sejak selesainya Perang Jawa 1825-1830 yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro. Kendati Belanda berhasil melumpuhkan perlawanan sang pangeran, tetapi biaya peperangan menyebabkan Hndia Belanda hampir bangkrut.Untuk menutup peneluaran besar itu, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1833) mulai menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), yang mengharuskan penduduk melakukan penanaman kopi dan nila yang harga jualnya ditetapkan pemerintah sebagai pembeli tunggal, dan eksportir utama ke Eropa dengan pengapalan di Pelabuhan Cilacap. Kewajiban menanam 1.184.075 pohon kopi diberlakukan bagi penduduk Banyumas.
Akibat yang kemudian terjadi adalah sejak 1831 Pelabuhan Cilacap menjadi bandar utama ekspor kopi. Menurut Residen Banyumas G. de Seriere (1832-1837), kegiatan ekspor/ impor lewat Pelabuhan Cilacap tercatat: kopi (11.233 pikul), tembakau (650 pikul), kapas (300 pikul), lada (190 pikul) dan minyak tanah (63 pikul). Sedang impornya berupa gambir, ikan asin, bawang, dan batu nisan porselin.
Persaingan kinerja, cukup ketat sempat terjadi antara pelabuhan-pelabuhan Cilacap, Cirebon dan Semarang, dengan Semarang yang behasil menjadi pemucuk. Penyebabnya, saat itu Semarang telah terdukung oleh pertumbuhan industri pengolahan agrikutur, serta kemudahan angkutan komoditas dari pedalaman menuju pelabuhan. Lebih-lebih ketika alat transportasi kereta api mulai menghubungkan daerah pedalaman seperti dari Purwodadi dan Magelang, berhasilmempercepat pengisian ruang kapaluntuk ekspor. Sementara yang terjadi di Cilacap, angkutan ke pelabuhan masih menggunakan gerobak yang ditarik sapi hingga waktu tunggu kapal di pelabuhan sampai mencapai satu bulan agar terisi penuh.
“Persaingan seperti tu,kini aklagi terjadi. Karena Pelabuhan Tanjung Emas Semarang dan Tanjun Intan Cilacap,merupakan entitas bisnis yang dikelolaoleh PT Pelabuhan Indonsia III (Persero) yang masing-masing memiliki fungsi dan tugas pelayanan bongkar muat barang sesuai keunggulan dan jenis komoditas di hinterland yang menjadi pendukungnya” ungkap Capt. Ali Sodikin General Manager Plindo III Tanjung Intan kepada maritim.com yang pekan lalu melakukan liputan ke Cilacap.(Bersambung).***ERICK A.M.