Dalam menyusun Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaan UU No.18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), masing-masing instansi harus menghentikan sikap ego sektoral. Seluruh kementerian terkait harus meningkatkan koordinasi dan memiliki persepsi yang sama, sehingga PP yang diterbitkan pemerintah dapat dilaksanakan secara utuh, tanpa terjadi pro-kontra di kalangan pemangku kepentingan.
Khusus bagi pelaut yang bekerja di kapal-kapal asing (kapal niaga dan kapal perikanan), penyusunan PP harus dilakukan melalui Lembaga Tripartit Nasional, yakni unsur pemerintah, pengusaha kapal dan serikat pekerja pelaut yang berkompeten dan telah mendapat pengakuan nasional dan internasional yang selama ini menangani pelaut di kapal-kapal niaga dan kapal perikanan.
Untuk mencegah terjadi tumpang tindih dan salah persepsi tentang pelaut di kapal niaga dan kapal perikanan, pemerintah harus merumuskan dua PP secara terpisah. PP yang mengatur penempatan dan perlindungan pelaut di kapal-kapal niaga (termasuk offshore), harus diatur tersendiri, sedang PP satu lagi mengatur pelaut di kapal perikanan.
Kedua PP harus mengadopsi regulasi internasional yang diatur dalam Konvensi ILO (International Labour Organization) tahun 2006 tentang MLC (Maritim Labour Convention) dan Konvensi ILO No.188/2007 tentang Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan, maupun regulasi nasional sepanjang tidak bertentangan dengan kedua konvensi tersebut.
MLC 2006 dan amandemen-nya maupun Konvensi No. 188 telah mengatur secara jelas tatakelola dan prosedur perekrutan, penempatan, perlindungan, prosedur pengaduan/komplain serta tanggung jawab dari negara bendera, negara pelabuhan, negara penyuplai pelaut, pemilik kapal dan agen perekrutan. Bahkan prosedur dan tatacara pemeriksaan kapal (ship inspection ) juga sudah diatur dalam kedua konvensi tersebut. Hal itu untuk memastikan hak-hak para pelaut di seluruh dunia dilindungi dan memberikan standar pedoman bagi setiap negara dan pemilik kapal untuk menyediakan lingkungan kerja yang nyaman bagi pelaut.
Kedua Konvensi ILO itu juga memberikan keleluasaan kepada negara-negara anggota ILO untuk menetapkan dan melaksanakan regulasi nasional guna mengimplementasikan konvensi-konvensi tersebut sepanjang regulasi nasional yang dibuat tidak bertentangan dan tidak lebih rendah standarnya dari kedua konvensi itu.
Penegasan ini dikemukakan Wakil Sekjen Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Sonny Pattiselano, yang juga dibenarkan oleh Ketua Umum Kesatuan Pelaut Perikanan Indonesia (KPPI) Soelistiyanto dan Ketua Umum Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Ach. Ilyas Pangestu seusai rapat dengan beberapa serikat pekerja (SP) di Jakarta, Jumat (9/3).
Rapat ini menindaklanjuti FGD (Focus Discussion Group) penyusunan PP terkait tatakelola penempatan dan perlindungan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan Indonesia di luar negeri pada 2-3 Maret 2018 di Yogyakarta. FGD yang diselenggarakan Ditjen Protokol dan Konsuler Kemenlu terkait pemerintah akan menerbitkan PP juklak UU PPMI, diikuti sejumlah SP dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), antara lain KPI, KPPI. SPPI, SP Buruh Migran Indonesia, Garda Buruh Migran Indonesia, SP Indonesia Luar Negeri dan Indonesian Fisheries Workers.
Seperti diketahui, dalam UU PPMI yang disahkan pada 22 November 2017 pasal 64 menyebutkan bahwa regulasi tentang penempatan dan perlindungan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan Indonesia di luar negeri akan diatur melalui PP. Sebagai aturan pelaksanaannya, pemerintah akan menerbitkan sejumlah regulasi dalam bentuk PP, Keppres/Perpres maupun Peraturan/Keputusan Menteri paling lambat 2 tahun setelah UU PPMI disahkan.
Menurut Sonny dan Soelistiyanto, penyebutan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan dalam UU No. 18/2017 sangat aneh dan lucu karena istilah pelaut adalah satu, yakni mereka yang bekerja di kapal atau menjadi awak kapal terserah kapal tempatnya bekerja itu tipe kapal apa.
Perbedaannya terletak pada regulasi berdasarkan kapal di tempat mereka bekerja. Regulasi bagi pelaut di kapal-kapal niaga di atas 500 Gross Ton (GT) diatur oleh MLC 2006 dan Indonesia telah meratifikasinya. Sedang bagi pelaut perikanan diatur Konvensi ILO No. 188 yang sekarang dalam proses ratifikasi, berdasarkan ukuran panjang kapal 12 meter ke atas atau juga kapal yang ukuran panjangnya 12 meter ke bawah yang melakukan perikanan komersial (commercial fishing).
Karena itu, Sonny menegaskan, pemerintah harus menyusun 2 PP untuk kepentingan pelaut di kapal niaga dan kapal perikanan. Ketentuan teknisnya harus mengadopsi kedua aturan internasional itu dan regulasi nasional lainnya, termasuk ketentuan-ketentuan yang bersifat umum yang ada dalam UU PPMI.
Mekanisme, prosedur dan persyaratan perekrutan dan penempatan awak kapal yang telah diatur melalui PM (Peraturan Menhub) No.84 tahun 2013 sebagai aturan turunan UU Pelayaran, kata Sonny, juga bisa diadopsi karena selama PM tersebut 90% isinya telah sesuai dengan MLC/2006 maupun Konvensi 188/2007.
“Bila tidak mengadopsi aturan internasional (MLC/2006 maupun C.188/2007, kita bisa dikomplain ILO,” katanya seraya menegaskan semua SP akan mengawal penyusunan PP tersebut.
Perizinan
Tentang perizinan untuk merekrut, menempatkan awak kapal beserta perlindungannya, Sonny dan Soelis menandaskan, perizinan harusnya satu pintu saja, yaitu Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) tidak perlu karena badan itu sebagai operator dari regulasi yang ditetapkan Kemnaker.
Jadi, untuk memberikan izin, Kemnaker harus mendapat rekomendasi dari kementerian terkait. Rekomendasi dari Kemenhub terkait hal-hal yang berhubungan dengan standar kelaiklautan, pengawakan kapal dan sertifikasi STCW. Sedang rekom dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait Sertifikasi Kompetensi Awak Kapal Perikanan (non-STCW), pengawakan kapal perikanan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan operasional kapal perikanan. Rekomendasi diperlukan karena kedua kementerian tersebut paling mengetahui teknis pengawakan pelaut di kapal niaga dan kapal perikanan.
“Rekomendasi tersebut diharapkan akan memudahkan proses perizinan. Namun perlu juga menjadi perhatian agar jangan sampai rekomendasi tersebut sengaja dimainkan dan dipersulit dengan berbagai persyaratan yang tidak dipersyaratkan dalam undang-undang, yang ujung-ujungnya melahirkan pungutan liar,” tukasnya.
Perusahaan atau agen pengawakan kapal juga harus resmi dan diumumkan kepada masyarakat. Sehingga perusahaan abal-abal tidak akan bisa lagi merekrut dan menempatkan pelaut di kapal-kapal asing.
Terkait soal ini, Sonny dan Soelis menyebut perusahaan abal-abal justru banyak yang memberangkatkan pelaut ke luar negeri ketimbang perusahaan resmi. Bahkan mereka bisa terbang tanpa prosedur dan dokumen resmi.
Semua ini terjadi karena petugas Imigrasi di bandara tidak pernah melakukan validasi semua dokumen pelaut yang akan joint ke kapal, misalnya Buku Pelaut dan PKL (Perjanjian Kerja Laut). “Imigrasi hanya melihat ada paspor dan LG (latter of garantie), langsung mengizinkan pelaut tersebut terbang. Padahal, LG itu bukan perjanjian kerja dan hanya merupakan surat jaminan bahwa pelaut yang bersangkutan akan dipekerjakan tanpa menyebutkan hak-haknya. Ini yang banyak menyebabkan terjadinya human trafficking,” sambung Sonny.
“Tugas pengawasan imigrasi ini harus dirombak total. Kalau tidak, kondisinya akan begini terus. Kasus trafficking akan terus terjadi,” ujarnya Soelis (Ketua KPPI) seraya mengaku tiap hari menangani pelaut perikanan di luar negeri yang banyak mengalami kasus.
Di sisi lain, KPI dan KPPI juga minta pemerintah menetapkan standar gaji pelaut di kapal-kapal perikanan (asing) minimal gaji pokoknya USD 350/bulan. Sedangkan untuk kapal-kapal niaga telah mengikuti standar gaji yang ditetapkan ILO, yaitu untuk Able Body Seaman minimum gaji pokoknya sebesar USD 614/bulan, dan jika ditambah overtime dan leave pay total menjadi USD 1078/bulan.
**Purwanto.