Surabaya, Maritim
SAMPAI dengan saat ini truk-truk logistik bermuatan lebih masih banyak yang beraktifitas mengangkut komoditas lewat jalan raya. Padahal, banyak para pengamat dan pemangku kepentingan yang mengkritisi truk-truk ‘obesitas’ yang dinilai telah menimbulkan lebih banyak inefisiensi dibanding efisiensi biaya logistik yang ingin dicapai dengan mengangkut barang lebih banyak.
Padahal, pemerintah telah berusaha menyediakan pilihan jalur logistik selain melalui jalan raya. Di antaranya moda angkutan kereta api berbasis rel, dan juga moda angkutan kapal laut. Namun ternyata kedua jalur alternatif tersebut kurang diminati pengusaha. Untuk jalur kereta api, kurang diminati karena membutuhkan biaya 1,5 kali lebih mahal dibanding angkutan darat mengunakan truk. Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan dibebankannya pajak terhadap barang sebesar 10%, membuat jalur ini kurang menarik minat pengusaha.
“Apabila moda angkutan darat menggunakan truk dinilai kurang efektif lagi, logikanya harus pindah ke angkutan berbasis rel. Tetapi tarif angkutan kereta api seyogianya tidak dibebani pajak yang menjadi penyebab tingginya biaya logistik” ujar Djoko Setijowarno.
Nenurut Djoko, awalnya PT KAI juga inginkan biaya angkut yang tak mahal. Tetapi akibat masuknya kebijakan pajak terhadap barang, menyebabkan terjadinya perubahan kalkulasi biaya. Berdasar realisasi jumlah angkutan barang yang menggunakan kereta pada tahun lalu, PT KAI mencatat realisasi jumlah angkutan barang sepanjang 2017 tak tercapai, hingga dari target 39,9 juta ton, hanya dapat terealisasi 36 juta ton.
Sementara itu, untuk jalur kapal laut, sejak akhir 2017 pemerintah telah menyiapkan kapal roro jarak jauh rute Jakarta-Surabaya yang disubsidi untuk mengurangi beban jalan pantura. Namun jalur ini juga kurang diminati, akibat terbentur kendala non teknis seperti biaya retribusi yang membebani biaya logistik.
“Dalam Implementasinya, long distance ferry memang tak terlalu signifikan. Tetapi minimal dapat mengurangi beban. Sekarang kita masih coba menawarkan ke masyarakat. Ternyata responsnya cukup bagus. Tetapi muncul masalahan non teknis semacam biaya retribusi yang agak tinggi di Tanjung Priok. Karena itu harus dikaji ulang, apakah perlu menurunkan biaya retribusi. Sebab dengan kondisi sekarang, pengaruhnya cukup besar untuk subsidi yang diberikan ke pemilik kapal roro” pungkas Djoko Setijowarno..***AYU/Sub/Maritim