JAKARTA-MARITIM :Kemelut kasus antara PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dan PT Karya Citra Nusantara (KCN), dapat diselesaikan jika keduabelah pihak kembali duduk menegosiasikan skema kerjasama komersialnya.
Hal itu dikemukakan Pengamat Kemaritiman dari Institut Tehnologi Sepuluh Nopember Surabaya, kepada Tabloid Maritim, menanggapi kisruh KBN dan KCN terkait pengembangan serta pembangunan Pelabuhan Marunda yang pada akhirnya menyeret Kementerian Perhubungan melalui Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) kelas V Marunda, ke ranah hukum.
“Ketidaksepakatan yang terus menerus akan memberi dampak pada kontribusi Pelabuhan Marunda dalam menanangani berbagai kapal dan barang.Khususnya yang berorientasi domestik,”ujarnya Sabtu (15/12/2018).
Tanpa bermaksud untuk melawan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Saut Gurning berpandangan, konsesi pelabuhan dalam banyak kasus berdasarkan pola perbandingan kepemilikan dan pengelolaan (hukum perbandingan) di berbagai negara, tanah merupakan milik negara dan bukan operator atau inisiator pelabuhan.
Menurutnya, pola ini yang terjadi di Belanda atau berbagai negara Eropa lainnya; USA, negara tetangga dan China.
“Dalam konteks kasus KBN & KCN, Pelabuhan Marunda saya kira juga masuk dalam kerangka rencana induk pelabuhan atau RIP Tanjung Priok yang mana kepemilikan dan pengaturannya tetap mengikuti prinsip konsesi berdasarkan UU 17/08 dan aturan turunannya,”tuturnya.
Kendati begitu, imbuhnya, dalam konteks proses pemberian konsesi itu sendiri, penilaian atas usulan konsesi memang harus memenuhi kaidah peraturan yang terkait termasuk aturan korporasi, aturan agraria dan berbagai persyaratan konsesi lainnya.
Dia menilai, akibat ada persoalan yang masih mengganjal terkait kasus tanah, skema saham dari inisiator konsesi lalu penetapan konsesi sudah terlebih dahulu ditetapkan terlebih dahulu.
Sehingga, ujar Saut, perlu menjadi catatan baik pemerintah, khususnya di masa mendatang, bila melibatkan inisiator BUP yang memiliki unsur BUMN maka koordinasi kemenhub, kementerian keuangan, dan kementerian BUMN serta mungkin pemerintah daerah.
“Keterlibatan berbagai pihak tersebut penting untuk memberikan garansi kejelasan (clearance) dari status BUP, fasilitas, SDM dan aspek legalnya,”tegasnya.
KEMENHUB LEBIH TEREKSPOS
Saut Gurning mengungkapkan, dalam kasus KBN-KCN ini menarik perhatian berbagai kalangan lantaran keterlibatn unsur pemerintah/Kemenhub, sehingga lebih terekspos. Hal itu, terlihat sejak proses gugatan yang melibatkan KBN (BUMN), KSOP / kemenhub dan kejaksaan sebagai pengacara KBN.
Karenanya, ujar Saut, koordinasi guna mendapatkan clerance status konsesi perlu melihat faktor-faktor status kepemilikan dan porsinya yang telah jelas.
Dia juga mengingatkan, jangan sampai kasus KBN & KCN ini menjadi kasus empirik yang kemudian menguransi daya tarik swasta nasional ataupun asing karena proses penetapan konsesi yang dapat dibatalkan kembali.
“Jadi kami sepakat dengan pemerintah dalam kasus ini bahwa pihak swasta nasional perlu dilindungi kepentingan dan inisiasinya berpartisipasi dalam pengembangan industri kepelabuhanan nasional,”paparnya.
Praktisnya, re-negosiasi atau rekonsiliasi perlu dilakukan dan dimediasi sejumlah kementerian terkait. Rasionalisasi saham perlu ditetapkan pada faktor-faktor dan praktek bisnis yang lazim di sektor kepelabuhanan di Indonesia.
Oleh sebab itu,imbuhnya, kenaikan saham KBN mungkin dapat dipertimbangkan. Karena angka 15 persen mungkin saat ini dianggap masih kecil. Dan tentu perlu dinamis setiap periode waktu tertentu, juga ditambah dengan hak saham yang tidak terdilusi.
Sementara itu, KCN juga telah mengeluarkan investasi atas dermaga dan fasilitas yang tersedia saat ini. “Jadi perlu menjadi pertimbangan kedua pihak dalam proses renegosiasinya,”ujar Saut Gurning.(Akhmad Mabrori)