Galangan Kapal Minta Perbankan Beri Fasilitas Yang Terjangkau

Ketua Umum Iperindo Eddy Kurniawan Logam
Ketua Umum Iperindo Eddy Kurniawan Logam

JAKARTA – MARITIM : Pelaku usaha industri galangan kapal yang tergabung dalam Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) meminta perbankan dapat memberikan fasilitas yang terjangkau. Pasalnya, saat ini pengucuran kredit dan tenor pengembalian pinjaman dari perbankan dinilai masih memberatkan.

“Kami butuh regulasi pembiayaan pengadaan kapal dengan periode panjang, yakni sekitar 15-20 tahun, karena life time operasional kapal rata-rata mencapai 25 tahun,” kata Ketua Umum Iperindo, Eddy Kurniawan Logam, pada kesempatan seminar Pembiayaan Industri Maritim, Launching Direktori Iperindo 2019-2020 dan Halal Bi Halal Iperindo 2019, di Jakarta, Rabu (17/7).

Read More

Di sesi seminar tampil sebagai pembicara Deputi Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Menko Perekonomian Iskandar Simorangkir, Analis Senior Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Rochma Hidayati dan Kepala Divisi Kredit Menengah BNI Eko Setiawan. Dengan dipandu moderator Soerjono, mantan Staf Ahli Menperin Bidang Penguatan Struktur Industri.

Di sisi lain, menurutnya, pihaknya berharap pemerintah bisa menurunkan bunga bank di kisaran 6-7% bagi pembiayaan kapal. Karena sebagai negara maritim, usaha galangan seharusnya mendapat dukungan penuh dari pemerintah, terutama dalam menghadapi daya saing saat ini.

“Sebab, usaha galangan kapal bisa memberikan iklim positif terhadap perekonomian nasional, karena memiliki kontribusi besar terhadap pemanfaatan sumber daya manusia yang banyak (padat karya). Hal lain, mengelola pendanaan yang besar (padat modal), sehingga perlu dukungan penuh dari pemerintah,” urai Eddy.

Jika itu bisa berjalan, lanjutnya, bukan tidak mungkin industri-industri rumahan bawaannya bisa berkembang. Sehingga memberikan gairah terhadap lahirnya usaha-usaha baru di sektor pembangunan kapal.

Selama ini, usaha galangan kapal banyak mengerjakan pesanan pemerintah, dengan memanfaatkan APBN. Namun sejak dua tahun terakhir, pesanan kapal dari pemerintah tidak lagi berjalan, sehingga pemasukkan hanya diperoleh dari reparasi kapal.

Dengan skema pembiayaan yang menarik diharapkan proyek-proyek pengadaan kapal oleh swasta nasional dapat dibangun di dalam negeri. Karena Indonesia masih mengakui umur layak pakai kapal itu 25 tahun, jika ada paket regulasi pembiayaan dengan tenor panjang, maka akan menjadi stimulus bagi industri perkapalan nasional.

Ditambahkan, dengan stimulus kebijakan, maka defisit neraca berjalan yang mencapai US$1 miliar per tahun akibat importasi kapal oleh swasta dapat dikurangi. Karena di dalam negeri ada kebutuhan tambahan kapal rata-rata mencapai 1.300 unit per tahun.

“Dengan pembiayaan kapal yang menarik, kami optimistis swasta beralih sukarela bangun kapal di dalam negeri, bukan malahan mengimpor. Bahkan kita bisa mendorong kegiatan ekspor kapal,” ujarnya.

Insentif lainnya, bisa mencontoh negara China, yang memberikan insentif kepada industri kapalnya berupa pengembalian biaya 15% dari harga kapal yang diekspor.

Eddy mengungkapkan, pasca 13 tahun implementasi keharusan penggunaan kapal berbendera Indonesia terhadap pengangkutan di dalam negeri atau asas cabotage, telah terjadi pertumbuhan kapal mencapai 18 ribu unit.

“Intinya, kami butuh regulasi yang mendorong pertumbuhan industri kapal nasional, sedangkan di sisi lain kita mampu menekan importasi kapal,” tuturnya.

Saat ini, anggota Iperindo terus bertambah, yakni menjadi 200-an. Dari sebelumnya hanya 154 perusahaan pada 2018.

 

Baru 3%

Analis Senior Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, Rochma Hidayati, mengungkapkan, hingga kini portofolio kredit perkapalan hanya 3% dari total kredit yang telah disalurkan perbankan yang mencapai 6.000 triliun.

Sementara Kepala Divisi Kredit Menengah BNI, Eko Setiawan, memastikan proyek pembangunan kapal bisa diagunkan kepada pihak perbankan untuk memperoleh kredit pembiayaan.

“Kapal dan proyek pembangunan kapal bisa dijadikan agunan di lembaga perbankan. Apalagi, kalau obyek kapal tersebut dibangun di dalam negeri,” ujar Eko.

Lamanya umur operasional kapal (life time), semestinya bisa menjadi acuan dalam menentukan jangka waktu penyaluran kredit perbankan atas obyek kapal, atau proyek pembangunan kapal tersebut.

“Life time kapal itu kan cukup lama, kenapa harus mematok 5-6 tahun rata-rata kreditnya di perbankan,”ucapnya.

Menurutnya, patokan jangka waktu pembiayan kredit perkapalan seharusnya mengacu pada masa operasional kapal, apalagi kalau kapal tersebut secara rutin dilakukan maintenance maupun repair.

Sedangkan menyangkut suku bunga perbankan bagi pembiayaan industri perkapalan, Eko menyatakan, pihak perbankan pastinya akan memberikan tingkat suku bunga yang baik kalau usaha/obyeknya bagus dan prospektif. (M Raya Tuah)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *