SURABAYA – MARITIM : Raja Oloan Saut Gurning pakar kemaritiman dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menilai pelaksanaan tol laut tak cukup hanya dilakukan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub), tetapi perlu ada pengawasan antar-instansi, dengan melibatkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, pemerintah daerah, dan juga BUMN pelaksana. Jelas Gurning lewat keterangan tertulis yang diterima di Surabaya, Selasa (02/10/2019): “Karena kita bicara menjaga amanah uang subsidi, jadi peran pemda sangat penting, karena dalam pelaksanaan perlu rekomendasi mereka terkait jumlah slot pelayaran dan jenis komoditas yang sangat diperlukan untuk daerah tertentu, dabn juga komoditas unggulan yang banyak diperlukan di daerah lain”.
Menurut Saut Gurning, dalam praktik di lapangan, tidak ada seleksi terhadap komoditas unggulan, bahkan kadang komoditas beras justru dikalahkan oleh komoditas nonberas seperti elektronik, garmen dan lainnya. Padahal, pemda memiliki kewenangan menentukan jenis komoditas yang jadi prioritas angkut menggunakan tol laut. Gurning juga menyebut, realisasi tol laut memang memberi manfaat dengan kian banyaknya kapal yang mengangkut barang, dari sekali menjadi dua atau tiga kali seminggu yang membuat ketersediaan barang terjamin di sejumlah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Tetapi, ternyata sampai saat ini hanya segelintir orang yang menikmati manfaat itu. Karena tak ada transparansi dan pengawasan, rekomendasi, dan ada dugaan slot petikemas tol laut justru diperjualbelikan.
Diketahui bahwa perusahaan pemilik kapal ternyata juga merupakan pengusaha ekspedisi muatan kapal laut (EMKL), hingga jatahnya diberikan ke perusahaan mereka sendiri. Slot yang diperoleh juga tak diberitahukan kepada pihak ekspedisi, hingga ekspedisi membayar harga normal. Jelas Saut Gurning: “Akibatnya, program tol laut tidak mampu menurunkan harga komoditas di wilayah timur Indonesia. Harga sampai ke konsumen masih tetap mahal, dan tak ada penurunan. Akibatnya, yang sudah untung akan mendapat untung lebih besar, sementara masyarakat sebagai konsumen tidak mendapat untung apa-apa”.
Terkait dengan kondisi seperti di atas, Henky Pratoko Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DPW Jawa Timur mengatakan konsep tol laut yang sebenarnya bagus kini sudah tak sesuai tujuan awal. Ungkapnya: “Seperti tidak adanya transparansi pemilik kapal, berapa slot atau space angkut barang yang tersedia dan kapan closing time bongkar muat yang ditetapkan. Pada hal seharusnya ada center point yang dapat dan mudah diakses oleh siapapun, mulai dari berapa tempat yang tersedia dan kapan barang harus sudah tiba di pelabuhan. Karenanya kami berharap para pemegang kebijakan tol laut duduk bersama dan mencari solusi terbaik, termasuk perlunya center point yang dapat diakses oleh siapapun”.
Sementara itu Budi Alfian, salah satu pengguna tol laut di Surabaya, mengatakan selain tarif tol laut yang masih terbilang mahal, slot atau ruang kapal juga tak mudah didapat karena pada saat pemesanan selalu dinyatakan sudah penuh. Lalu, ada juga perbedaan tarif antara perusahaan pelayaran dengan perusahaan ekspedisi. Misalnya, tarif dry countainer tujuan Agats dari Surabaya, perusahaan pelayaran menetapkan biaya sebesar Rp.3.327.500, untuk tiap petikemas, sedang perusahaan ekspedisi mematok biaya angkut sebesar Rp.15 juta.
Perbedaan mencolok juga terjadi antara tarif tol laut dengan tarif regular. Tarif resmi regular berkisar antara Rp7 juta – Rp8 juta, sedang tarif tol laut di rute sama, yang semestinya jauh lebih murah karena disubsidi, ternyata jauh lebih besar.
Mencermati terhadap kondisi yang terjadi mutakhir ini, Jamhadi Staf ahli Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Jatim juga sependapat tentang perlunya semua pemangku kepentingan program tol laut bertemu untuk melakukan pembahasan dan evaluasi pelaksanaannya.
Ujharnya, memungkasi penjelasan, Jamhadi mengatakan: “Evaluasi ini juga dimaksud untuk menguatkan kembali komitmen penyelenggaraan tol laut dan mengefektifkan dana subsidi yang digelontorkan pemerintah untuk tol laut”. (Erick Arhadita)