JAKARTA-MARITIM : Indonesia, dengan luas laut mencapai 5,8 juta kilometer dan memiliki panjang pantai nomor dua di dunia mencapai 97.000 kilometer lebih, luas wilayah maritim Indonesia memang belum sepenuhnya dapat tertangani secara optimal.
Pasalnya, karena keterbatasan permodalan serta keterbatasan sumber daya manusia (SDM), yang memberikan perhatiannya pada dunia maritim.
“Namun demikian, bukan berarti Indonesia tidak bisa menjadi poros maritim dunia, seperti yang telah dicanangkan Presiden Joko Widodo selama dua periode kepemimpinannya,” kata Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas Strategic Centre (IKAL SC), Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, kepada wartawan di Jakarta, Jumat (21/10).
Dengan fokus pada kata maritim saja, menurut Capt. Hakeng, yang mengutip pendapat dari Gubernur Lemhannas, Andi Widjajanto, saat menjadi narasumber di Seminar PPRA Angkatan Ke-64 Tahun 2022 Lemhannas RI, pada 11 Oktober 2022 lalu. Bertemakan ‘Kolaborasi/Kepemimpinan G20 : Konektivitas dan Rantai Pasokan Global’, maka kita menjadi realistis dalam memperjuangkan Indonesia menuju Poros Maritim Dunia. Dimana dijelaskan, bahwa Indonesia bisa menjadi poros maritim dunia melalui sumber daya protein ikan atau yang diistilahkan Gubernur Lemhannas sebagai protein biru (blue protein).
Pernyataan Gubernur Lemhannas itu, menurut Capt. Hakeng, sudah sangat tepat. Sebab, Indonesia memiliki sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), yang meliputi antara lain perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan. Kemudian perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau, perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.
“Ini seperti memiliki Emas Biru yang mahal harganya. Tapi sayang belum dikembangkan secara maksimal,” katanya.
Untuk saat ini, lanjut Capt. Hakeng, Indonesia berada dalam posisi keempat di dunia sebagai negara produsen ikan. “Indonesia dapat berada di posisi ketiga, atau bahkan nomor satu dunia, sebagai produsen ikan. Jika WPPNRI itu digarap secara serius dan berkesinambungan.”
Memang, tegas Capt. Hakeng, untuk dapat mengoptimalkan kawasan WPPNRI tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan kerja sama antara semua pihak, baik ditingkat pusat, maupun di daerah. Guna bisa mewujudkannya.
“Bukan hanya hasil tangkapan yang melimpah, tapi juga dibutuhkan pelabuhan terpadu untuk perikanan tangkap. Di pelabuhan perlu juga dibangun pabrik pengolahan ikan, sehingga hasil ikan dapat langsung diolah. Dibutuhkan juga gudang-gudang penyimpanan Ikan berpendingin (cold storage), untuk menjaga kesegaran ikan sebelum sampai ke konsumen, serta memperkecil biaya pengiriman hasil laut tersebut,” jelas Capt. Hakeng.
 Kapal pengumpul ikan
Hal lain yang menjadi perhatian Capt. Hakeng, adalah pemerintah agar mau mengadakan kapal-kapal penampung, atau kapal pengumpul ikan yang berdimensi lebih besar (feeder ships to ships) di tengah laut.
Kapal penampung atau pengumpul ikan ini nantinya juga bisa menyediakan bahan bakar, kebutuhan pokok, fasilitas pendinginan dan kebutuhan air tawar secara reguler bagi kapal-kapal nelayan yang dilayaninya. Sehingga kapal dapat difungsikan sebagai kapal penampungan hasil tangkapan bagi para nelayan di titik-titik kapal nelayan, atau kapal ikan tersebut biasa beroperasi di WPPNRI dan kapal-kapal nelayan, tidak perlu lagi pulang pergi hanya untuk mengisi bahan bakar di darat.
Indonesia, memang kaya akan sumber ikan lautnya, namun berdasarkan parameter, laut sebagai sumber pangan dalam rentang penilaian 0 sampai 100, nilai dari parameter laut Indonesia teramat rendah, hanya 34. Pengelolaan pangan perikanan di tanah air masih dinilai jauh dari praktik berkelanjutan.
“Dari parameter itu artinya, konsumsi ikan laut masyarakat Indonesia masih rendah,” ujarnya.
Konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih dikatakan rendah, sambung Capt. Hakeng, bisa jadi karena ada beberapa hal. “Pertama, paradigma berpikir kita masih kontinental atau masih memiliki pola pikir Indonesia, ini negara agraris. Kedua, sudah berlangsung lama, sektor perikanan dimasukkan ke dalam sektor pertanian. Sehingga kurang mendapatkan perhatian. Dimana fokusnya lebih diberikan untuk sektor pertanian yang ada di daratan. Ketiga, sektor perikanan dimasukan ke kategori pangan. Sementara kebanyakan masyarakat kita dominan memahami pangan itu, adalah beras serta bahan makanan karbohidrat lainnya, yang ada di darat serta daging hewan ternak. Untuk ikan dan sumber pangan laut lainnya baru belakangan ini dapat perhatian,” ungkap Capt. Hakeng.
Oleh sebab itu, sudah saatnya Indonesia fokus kembali ke maritim. “Saya mengusulkan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dimana dua pertiga wilayahnya merupakan lautan, tentu tak berlebihan bila memposisikan laut menjadi pusat pemecahan dari berbagai persoalan bangsa Indonesia. Seperti pengentasan kemiskinan, penurunan angka pengangguran hingga pada persoalan kelaparan,” katanya.
Persoalan kesehatan, atau kebersihan laut, atau ocean health, juga harus jadi fokus perhatian. Untuk parameter kebersihan perairan laut Indonesia berada pada skor 58. “Ini mengindikasikan lautan masih dianggap sebagai tempat pembuangan sampah raksasa oleh sebagian besar masyarakat. Laut dipakai untuk menampung berbagai bahan pencemar yang membahayakan kualitas hidup warga dan ekosistem laut beserta isinya. Ubah segera paradigma ini. Kita menuju Ekonomi Biru, dimana kedaulatan dan kemandirian bangsa Indonesia bisa dicapai dan ditopang dengan memperjuangkan kedaulatan dan kemandirian maritim kita. Dan hal tersebut hanya bisa dicapai dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh sumber daya alam maritim serta sumber daya manusia maritim yang kita miliki,” tekannya.
Dengan tetap menjaga keberlangsungan ekologi samudera kita, sambung Capt. Hakeng, banyak sekali potensi yang bisa kita dapatkan dari potensi ekonomi maritim ke depannya. (Muhammad Raya)