JAKARTA-MARITIM : Panglima TNI Laksamana Yudo Margono beserta jajaran TNI dapat ikut mewujudkan Indonesia Poros Maritim Dunia seperti yang dicita-citakan Presiden Jokowi. Termasuk ikut mendukung Kebijakan Kelautan Indonesia terdiri 7 pilar.
Tujuh pilar itu pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia, pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut. Kemudian tata kelola dan kelembagaan laut, ekonomi dan infrastruktur kelautan dan peningkatan kesejahteraan, pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut serta budaya bahari dan diplomasi maritim.
“Apalagi, kedaulatan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna yang kaya akan sumber daya perikanan kerapkali menjadi incaran kapal-kapal ikan asing seperti dari China dan Vietnam. Ditambah pemberian konsesi ZEE ke Vietnam yang tak kunjung menemui kesepakatan perlu mendapat pengawalan dari masyarakat maritim, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan TNI AL,” kata Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT, dalam keterangan pers kepada media di Jakarta, Jumat (30/12).
Menurutnya, eskalasi di wilayah perairan Natuna akan terjadi mengingat potensi perikanan tangkap cukup besar. Karena itu perlu pengawasan dari pemerintah Indonesia untuk memberi perlindungan kepada nelayan Indonesia.
Selain itu, saat ini telah terjadi peralihan aktivitas dan perhatian dunia dari wilayah Mediterania dan Atlantik ke kawasan Indopasifik. Peralihan tersebut tentu saja mengakibatkan wilayah maritim Indonesia kembali menjadi perlintasan strategis. Samudera Hindia menjadi perlintasan strategis dan Indonesia yang sangat dekat. Karena itu Indonesia harus sadar dengan posisinya secara geopolitik dan geostrategis. Disini sangat dibutuhkan kekuatan matra TNI AL dengan dukungan dari matra TNI lainnya.
Luasnya wilayah maritim Indonesia memang belum sepenuhnya dapat tertangani secara optimal, begitu juga dengan hasil perikanan tangkap yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Hal itu terjadi karena masih adanya keterbatasan sumber daya manusia Indonesia yang memberikan perhatian kepada dunia maritim.
Sebenarnya, menurut Capt. Hakeng, Indonesia bisa mewujudkan diri menjadi poros maritim dunia melalui ekonomi biru dari sumber daya protein ikan lautnya. Indonesia mempunyai sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), antara lain perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan, perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau, perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.
“Kesebelas WPPNRI tersebut memiliki sumber daya ikan tangkap yang jenisnya berbeda-beda. Oleh sebab itu, sudah saatnya Indonesia fokus kembali ke maritim. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tidak berlebihan bila memposisikan laut menjadi pusat pemecahan dari berbagai persoalan bangsa Indonesia seperti pengentasan kemiskinan, penurunan angka pengangguran hingga persoalan kelaparan,” katanya.
Nasib Nelayan
Sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia berlimpah antara lain, perikanan tangkap dan perikanan budi daya. Akan tetapi kekayaan sumber daya kelautan yang berlimpah itu, belum sepenuhnya dapat dinikmati nelayan bahkan belum mampu mengangkat nasib nelayan Indonesia.
Laporan ada beberapa masalah yang seringkali menghadang nelayan Indonesia. Salah satunya, ketersediaan bahan bakar solar subsidi. Ada dugaan masih ada pihak yang seharusnya tidak memanfaatkan solar subsidi tapi menggunakannya. Sehingga nelayan kecil terkena imbas dimana solar subsidi yang dibutuhkan tak ada lagi.
Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim (FORKAMI) ini, penerapan tarif PNBP pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 85/2022 yang memberatkan nelayan. Karena ketentuan naiknya besaran tarif PNBP kepada nelayan menjadi sekitar 5-10%. Padahal aturan sebelumnya PP Nomor 62 tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1%.
Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5% dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. Dan di aturan baru PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal ukuran 5-60 GT dikenakan tarif 5% untuk PNBP.
Hal tersebut patut diduga telah membuat para nelayan tradisional menjadi enggan melaporkan hasil tangkapan mereka dan mengakibatkan data hasil tangkapan para nelayan tradisional menjadi tidak akurat,” ujar Capt Hakeng.
Perlindungan hukum bagi pelaut Indonesia juga jadi sorotan dan dirasakan masih kurang. Hal itu dapat dilihat dengan masih banyak perlakuan kurang adil yang diterima pekerja migran Indonesia terutama yang bekerja sebagai Pelaut Perikanan (PMI PP) yang bekerja di atas kapal penangkap ikan berbendera asing.
Dari laporan studi bertajuk “Potret Kerawanan Kerja Pelaut Perikanan di Kapal Asing: Tinjauan Hukum, HAM, dan Kelembagaan” yang diluncurkan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada 31 Agustus 2022 lalu, PMI PP masih dihadapkan dengan praktik-praktik perbudakan modern dan perdagangan manusia.
“Saya berharap dari temuan tersebut pemerintah dapat melakukan perundingan dengan negara-negara lain yang banyak memanfaatkan tenaga kerja Pelaut Perikanan Indonesia. Sehingga dapat ditemukan titik terang penyelesaian yang saling menguntungkan,” tegasnya.
Capt. Hakeng juga menyoroti soal keselamatan pelayaran yang dalam UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran mengatakan bahwa pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.
Oleh karena itu, Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI) ini, merekomendasikan untuk memperketat pengawasan guna meminimalisasi kecelakaan yang melibatkan kapal penyeberangan (Kapal Ferry)-ASDP. (Muhammad Raya)