Prof Rina Indiastuti : Tidak Tepat Indonesia Mengalami Deindustrialisasi

JAKARTA-MARITIM : Industri nasional saat ini sedang baik-baik saja dan berada pada posisi pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dibandingkan dengan negara-negara maju. Karena itu penyematan industri nasional sedang berada dalam kondisi deindustrialisasi adalah kurang tepat dan tidak benar.

“Kondisi industri nasional kita cukup baik saat ini dan sedang dalam posisi pertumbuhan. Karena itu tidak tepat dan tidak benar jika dikatakan industri kita sedang dalam kondisi deindustrialisasi,” kata Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung sekaligus akademisi Prof Rina Indiastuti, saat webinar “Industrialisasi Sebagai Penggerak Perekonomian Nasional”, yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Senin (7/8).

Read More

Webinar ini menampilan para pembicara seperti Rektor Unpad, Prof Rina Indiastuti, Tenaga Ahli Menteri Keuangan dan ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), Kiki Verico serta Ketua Umum GAPMMI, Adhi S Lukman.

Menurut Rina, kondisi deindustrialisasi sebenarnya dipengaruhi oleh tanda-tanda yang prematur, seperti pertumbuhan ekonomi yang rendah. Pertumbuhan industri yang stagnan, kegagalan peningkatan produktivitas dan kendala transformasi serta kendala global value chains.

Kemudian, lanjutnya, suatu negara bisa dikatakan sedang mengalami deindustrialisasi adalah terjadinya penurunan pertumbuhan pendapatan per kapita, gejala kinerja ekonomi makro yang buruk, kondisi manufaktur terhadap perekonomian turun dan perubahan struktur ekonomi dan sosial yang besar.

“Namun saat ini kita bisa melihat bahwa potret atas kinerja industri manufaktur Indonesia cukup bagus. Di mana masih memiliki prospek karena pertumbuhan ekonomi nasional relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya,” ungkap Rina.

Faktor lain yang menyebutkan bahwa tidak sedang terjadi kondisi deindustrialisasi pada suatu negara, tambahnya, adalah kontribusi manufaktur masih yang terbesar terhadap PDB maupun pertumbuhan ekonomi. Kemudian produktivitas manufaktur masih bisa ditingkatkan.

“Terkait itu, Indonesia perlu menggarap strategi bersaing di pasar global, meningkatkan produktivitas dan mengungkit faktor atau sektor yang jadi pendorong manufaktur. Sehingga kondisi deindustrialisasi dapat ditangkis,” tekan Rina.

Peraih gelar Dokter Ekonomi Industri dari Osaka Prefecture University di Jepang itu menjelaskan, bahwa strategi yang bisa digunakan untuk mendongkrak pertumbuhan industri manufaktur, di antaranya mulai dengan mengeksplorasi cabang-cabang industri manufaktur. Pasalnya, selama ini Indonesia masih fokus pada industri di subsektor-subsektor lama yang hanya fokus pada Sumber Daya Alam (SDA).

Tingkatkan SDM Manufaktur

Sementara Tenaga Ahli Menteri Keuangan dan ekonom dari LPEM UI, Kiki Verico, menegaskan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) manufaktur perlu diperhatikan dengan serius. Hal ini tujuannya untuk mendorong pertumbuhan. Karena mayoritas SDM manufaktur di Indonesia itu 90 unskilled. Hanya 0,5% yang memiliki skill.

“Skill manufaktur mesti ditingkatkan, walaupun banyak teori yang mengatakan, bahwa untuk meningkatkan skill SDM manufaktur itu diawali dari adanya investasi yang masuk terlebih dahulu,” katanya.

Hal lain, ucapnya, Indonesia harus mengubah menjadi basis produksi yang hijau. Karena itu perlu dilakukan transformasi di mana seperti tren yang tengah terjadi di dunia saat ini.

“Kita harus memiliki industri hijau. Karena kalau tidak green tidak bisa menjual produk ke belahan dunia lain. Kita tidak bisa menjual ke jaringan dunia. Sebab itu kita harus mendorong manufakturnya pro lingkungan,” tekan Kiki.

Sedangkan Ketua Umum Gabungan Asosiasi Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman, mengatakan penerapan industri hijau dan berkelanjutan (sustainabilty) telah memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi daerah dan mampu menciptakan tambahan lapangan kerja.

Menurutnya, setidaknya ada tiga faktor yang menjadi syarat penerapan industri hijau, yakni bahan baku yang bertujuan mendorong efisiensi dan afektifitas bahan baku dan bahan penolong yang baru dan terbarukan. Sehingga mendorang para pelaku usaha mulai dari petani, peternak dan nelayan untuk dapat menghasilkan bahan baku yang diperlukan industri.

Kedua, pengelolaan limbah dan energi, di mana harus memakai energi baru dan terbarukan. Dicontohkan, di China dan Korsel, umbi-umbian dipakai untuk fuel atau energi baru terbarukan. Di Brasil produk gulanya dipakai untuk bioetanol. (Muhammad Raya)

Related posts