JAKARTA-MARITIM: Sekitar 70 perusahaan keagenan awak kapal mengkuti Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) tentang Crew Management yang diselenggarakan oleh CIMA (Consortium of Indonesian Manning Agencies/Perkumpulan Perusahaan Pengawakan Kapal Indonesia), pada tanggal 4-5 Desember 2024) di Jakarta. Diklat diselenggarakan beberapa saat setelah CIMA melaksanakan Rapat Kerja Tahunan (RKT) 2024-2025, di tempat yang sama.
Diklat manajemen awak kapal tingkat dasar (basic level) ini diselenggarakan pertama kali oleh CIMA dalam rangka pelaksanaan program kerja dan implementasi misi organisasi untuk meningkatkan profesionalisme anggota serta upaya memantapkan perusahaan dalam merekrut awak kapal yang ditempatkan di kapal-kapal asing dan dalam negeri. Untuk selanjutnya diklat Crew Management akan diadakan untuk tingkat advance yang diikuti oleh pejabat perusahaan yang lebih tinggi.
Diklat disampaikan dalam bentuk presentasi/teori dan praktek/diskusi kelompok yang diberikan oleh beberapa narasumber dari Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Makasar, dan maupun dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) CIMA.
Para pembicara umumnya sependapat bahwa Indonesia merupakan potensi terbesar di dunia dalam penyediaaan SDM pelaut, namun belum dapat menjadi pemasok pelaut terbesar di dunia. Indonesia mempunyai lebih dari 30 lembaga pendidikan (lemdik) pelaut, sementara pemerintah memiliki 13 lemdik negeri dibawah BPSDMPL, Kemenhub yang mampu menghasilkan sekitar 7.500 perwira pelaut baru setahun.
Ini dibenarkan oleh Direktur Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Makasar Capt. Rudy Susanto MM. Dalam setahun pihaknya bisa mewisuda sekitar 800 lulusan. PIP Makasar yang kini berusia 103 tahun mampu menghasilkan perwira yang profesional dari ANT/ATT I sampai ANT/ATT V. Ia menyebut keunggulan diklat PIP antara lain telah memiliki kapal latih sendiri, simulator (bridge & engine room), rumah sakit di kampus, bahkan telah mempunyai Perusahaan Pengawakan Kapal (SIUPPAK).
Untuk lemdik swasta jumlah lulusannya lebih banyak lagi. Namun dari semua lulusan Lemdik pemerintah dan swasta, yang terserap bekerja di kapal-kapal asing hanya sekitar 12%. Ini membuktikan lulusan sekolah maritim belum dapat menghasilkan pelaut yang berkualitas dan memiliki kompetensi sesuai kebutuhan dan permintaan pasar internasional.
Tentang hal ini, Kabid Diklat BPSDM Perhubungan Laut Dr. Capt. Ilham Asyhari mengatakan, seluruh lembaga pendidikan dan pelatihan (lemdiklat) pelaut, asosiasi maritim dan perusahaan yang terkait dengan pelaut harus mempunyai tekad yang sama untuk meningkatkan kualitas SDM pelaut sesuai standar internasional. Sehingga besarnya potensi pelaut di Indonesia dapat dibuktikan dengan kompetensi, keahlian dan profesionalismenya, sehingga mampu menjadi pemasok terbesar di dunia mengalahkan Filipina yang kini masih menjadi pemasok terbesar.
Hal ini sangat dibenarkan oleh mantan Direktur Perkapalan dan Kepelautan yang sekarang menjadi dosen PIP Makasar Dr. Ir. Ahmad Wahid, M.Mar.Eng dan Wakil Sekjen CIMA Capt. Eddy Sukandar, M.Mar. Seluruh lemdiklat harus dapat memastikan semua lulusannya memiliki kompetensi dan keahlian sesuai standar internasional.
Selain itu, lembaga pendidikan dan pelatihan perlu menyiapkan pelaut ketika menghadapi tantangan di laut dan dipastikan mereka dapat menjalankan tugas sesuai standar dan prosedur yang ditetapkan. Tujuannya agar pelaut siap menghadapi kondisi darurat di laut dan dipastikan berhasil mengoperasikan kapal dengan selamat sampai tujuan.
Semua pembicara juga membenarkan bahwa salah satu kelemahan pelaut Indonesia adalah lemah dalam berbahasa Inggris. Kemudian suka cengeng (ada masalah kecil di keluarga minta cuti pulang) dan home sick. “Tapi kalau soal keahlian teknis kita nggak kalah dengan pelaut dari Filipina atau Amerika Serikat sekali pun,” tegas Ahmad Wahid menceritakan pengalamannya ketika sering berlayar dulu.
Karena itu, pemerintah, lemdiklat pelaut dan semua pihak terkait harus bertindak cepat untuk menjaga jangan sampai Indonesia kehilangan pasar dalam memasok pelaut di berbagai negara. “Jadi, kualifikasi apa yang diminta dari pihak luar negeri, kita harus bisa menyediakan pelaut sesuai kompetensi berstandar internasional,” ujarnya.
Terkait soal ini, perusahaan pengawakan kapal juga harus lebih ketat dalam menyeleksi calon pelaut yang akan dikirim ke luar negeri. Komponen penting dalam seleksi kandidat, menurut Wakil Ketua 2 Bidang Communication and Public Affair CIMA Putri Eva Mayangsari M. Ed, adalah sertifikasi, pengalaman kerja, kemampuan teknis sesuai kompetensi yang diminta, kesehatan fisik dan mental, maupun kepribadian.
“Dalam perekrutan dan penempatan awak kapal kita harus tetap berpegang pada PM (Peraturan Menteri Perhubungan) No.59/2021 dan pelaut yang dikirim harus memenuhi kompetensi yang diminta sesuai standar internasional,” tegasnya.
Dalam diklat ini, banyak muncul pertanyaan tentang isu jump ship yang sering terjadi, CBA yang sering dipermasalahkan dalam audit perusahaan, sijil buku pelaut yang sering melanggar aturan dan monitoring pelaut saat bekerja di kapal. Semua masalah tersebut diinventarisir dan selanjutnya direkomendasikan ke CIMA untuk dibahas dan dicari solusinya.
“Untuk kasus jump ship, kalau perlu akan kita sampaikan ke Perhubungan Laut agar mendapat perhatian khusus dan cepat dapat diselesaikan supaya kasus jump ship tidak terus berulang,” ujar Ketum CIMA dalam penutupan diklat crew management tersebut. (Purwanto).