Surabaya – Maritim
KEBANGKRUTAN yang dialami oleh perusahaan pElayaran nasional, bukan hanya dIsebabkan lesunya iklim usaha, tetapi juga dapat terjadi akibat terpicu oleh regulasi yang tak tepat sasaran.DemIkian salah satu simpulan dari perbincangan maritim.com dengan Bambang Harjo Soekartono, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi VI beberapawaktu lalu,di Surabaya. Menurut Bambang, sedemikian banyaknya pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang ditetapkan dan diberlakukan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menjadi pendorong kebangkrutan usaha pelayaran nasional.
“Fenomena yang terjadi di Indonesia selama ini, perusahaan pelayaran dalam kondisi melemah usahanya karena kelesuan pasar. Kemudian, di tengah kondisi itu, perusahaan pelayaran juga dibebani dengan kebijakan pemerintah yang mengeluarkan reguIasiribuan pos tarif PNBP. Karenanya kami berpendapat, bila kebijakan penerapan PNBP tak direvisi kami hawatir perusahaan pelayaran eksisting akan mengikuti 1.300 nasib perusahaan pelayaran yang lebih dulu tutupdi era pemerintahan Jokowi, saat Ignasius Jonan menjabat sebagai Menhub” ungkap Bambang Harjo, anggota DPR yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur ini, Sabtu (25/3/2017) lalu.
Menurutnya kebangkrutan usaha pelayaran nasional itu, merupakan fakta ironi dengan gencarnya usaha pemerintahan Jokowi-JK membangun Tol Laut dan Poros Maritim.
Karenanya, ia mendesak agar pemerintah merevisi PP Nomor 15/2016 tentang Jenis & Tarif PNBP untuk jasa angkutan laut, yang jadi penyebab biaya tinggi dan membebani rakyat. Seperti diketahui dalam PP tersebut, pemerintah menambah 435 pos tarif PNBP baru hingga jumlahnya mencapai 1.200 pos tarif serta menaikkan 482 pos tarif 100% bahkan ada yang lebih dari 1.000%, sedang beberapa pos tarif yang tidak ada layanannya juga wajib dibayar.
Dalam akhir perncangan dengan Maritim.com, Bambang Harjo menegaskan bahwa jumlah pos tarif PNBP dalam PP itu sangat banyak dan terkesan mengada-ada. Akibatnya, biaya transportasi laut membengkak serta membebani logistik industri dan perdagangan dalam negeri, hingga mengakibatkan disparitas harga di luar Jawa menjadi semakin tinggi.
“Publik sulit membayar biaya tinggi transportasi, dan perusahaan pelayaran juga tak akan sanggup memberi pelayanan yang baik. Kondisi ini sangat berbahaya bagi keselamatan nyawa dan barang publik yang diangkut serta kelangsungan usaha pelayaran” pungkas Bambang Harjo.***(ERICK A.M.).