JAKARTA, MARITIM.
Dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerja, para mediator perlu meninggalkan cara kerja yang lama. Pola kerja lama harus diubah dengan membuat terobosan dan inovasi baru, sehingga perselisihan industrial tersebut dapat diselesaikan secara cepat dan tepat.
Sebagai pihak penengah yang terpercaya, kehadiran mediator harus mampu mencegah perselisihan jangan sampai berkembang semakin rumit. Mediator jangan menjadi pemadam kebakaran yang hanya datang ketika terjadi perselisihan industrial.
Masalah ini ditekankan Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri ketika menutup Forum Komunikasi Nasional Mediator Hubungan Industrial di Jakarta, Sabtu (25/11). Acara ini dihadiri oleh kepala dinas yang membidangi ketenagakerjaan tingkat provinsi seluruh Indonesia, serta perwakilan serikat buruh/pekerja dan asosiasi pengusaha (Apindo).
Forum komunikasi nasional selama dua hari itu diikuti sekitar 500 mediator di seluruh Indonesia. Selain dari Kemnaker, mereka juga dari dinas ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.
Menaker menilai mediator merupakan ujung tombak dalam membina dan mengembangkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan. Sehingga dapat meningkatkan stabilitas dunia usaha dan ketenangan bekerja.
Karena itu, Kementerian Ketenagakerjaan terus memperkuat peranan mediator hubungan industrial di tingkat pusat dan daerah. Hal ini dilakukan untuk mencegah, meredam dan mempercepat penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Para mediator di tingkat pusat maupun daerah harus bersinergi, meningkatkan integritas dan profesionalismenya, sehingga hubungan industrial di negeri ini semakin harmonis. Kualitas mediator, lanjut Hanif, juga harus ditingkatkan agar mampu bekerja secara profesional, inovatif dan kreatif, sesuai dengan perkembangan zaman.
Kebutuhan baru 34%
Saat ditanya wartawan soal kekurangan mediator, Hanif mengakui, saat ini jumlah perusahaan pembayar pajak sekitar 300.000, sementara jumlah mediator hanya 907 orang.
Idealnya dibutuhkan 2.692 mediator, dimana setiap tahun seorang mediator membina 96 perusahaan atau 8 perusahaan setiap bulan. Dengan demikian terdapat kekurangan 1.785 mediator atau dengan kata lain saat ini baru tersedia mediator sejumlah 34% dari kebutuhan ideal.
Tapi, menurut Hanif, kekurangan mediator tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Ia lebih memilih mengoptimalkan partisipasi masyarakat, termasuk kalangan buruh/pekerja dan pengusaha, untuk membantu mediasi.
“Kekurangan mediator memang iya. Tapi kita harus lihat skema rekruitmen PNS yang sangat terbatas. Kita perlu cari terobosan. Yang penting saat ini, bagaimana mediator yang ada bekerja dengan baik, optimal dan konsisten. Bisa melalui pelibatan pihak ketiga dalam hal ini masyarakat yang bisa menjadi mediator,” ujarnya.
Selain itu, kata Hanif, mediator sebagai profesi perlu memiliki kompetensi berstandar nasional. Hal ini penting untuk meningkatkan kualitas dan dialog sosial para mediator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Tiga fungsi
Sementara itu, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker Haiyani Rumondang memaparkan, saat ini perkembangan dunia usaha dan industri telah berkembang dengan pesat. Untuk itu, perlu respon cepat dari mediator hubungan industrial dalam mengantisipasi setiap perubahan bidang ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
Haiyani mengingatkan, mediator hubungan industrial mempunyai 3 tugas utama. Yaitu pembinaan hubungan industrial, pengembangan hubungan industrial, dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan.
“Dari sisi kualitas diperlukan peningkatan kompetensi dan capacity building dari para mediator. Kondisi sekarang tidak sama lagi dengan seperti dulu, sehingga harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman,” katanya.**Purwanto.