JAKARTA, MARITIM.
Jaminan Pensiun (JP) merupakan salah satu dari 4 program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK). Program baru yang dilaksanakan sejak 2014 ini untuk melengkapi program Jaminan Hari Tua (JHT) yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Program JP dibuat untuk memenuhi harapan pekerja agar kebutuhan hidupnya di masa tua terpenuhi. Dengan demikian, saat memasuki masa pensiun pekerja akan menerima pengganti penghasilan setiap bulan dari BPJS TK, layaknya ketika mereka bekerja. Besarannya hingga mencapai 40% dari upah rata-rata.
Manfaat bulanan ini akan diperoleh jika pekerja aktif membayar iuran JP sedikitnya 15 tahun. Tapi kalau iuran tidak sampai 15 tahun, maka manfaatnya akan diberikan kepada pekerja atau ahli warisnya secara lumpsum, atau dibayar sekaligus seperti manfaat JHT.
Program JP dan JHT dirancang untuk melindungi pekerja di masa depan, namun keduanya memiliki manfaat berbeda. Skema iuran JP serupa dengan JHT, yakni ditanggung pengusaha dan pekerja berdasarkan upah (upah pokok dan tunjangan tetap) yang dilaporkan.
Iuran JHT sebesar 5,7% dari upah pekerja, di mana 3,7% dibayar oleh perusahaan dan 2% lagi dibayar pekerja. Sedangkan iuran JP sebesar 3% dari upah pekerja, dimana 2% dibayar oleh perusahaan dan 1% sisanya dibayar pekerja.
Apakah JHT dan JP ini mampu memberikan kesejahteraan yang memadai bagi pekerja di masa tuanya? Jawabannya bisa, asal pekerja telah membuat rencana matang menghadapi masa tuanya. Misalnya, rutin menabung sebagian upahnya untuk menyiapkan usaha tertentu yang diyakini kelak bisa memberikan penghasilan. Mereka akan makin berhasil jika dibantu oleh keluarganya yang sudah kaya, baik fasilitas, permodalan, maupun pemasaran.
Tapi, bagi pekerja yang upahnya pas-pasan akan sulit menabung untuk merencanakan usaha tertentu. Apalagi jika tak memilki keluarga mampu atau pihak lain yang bisa membantu.
Saat ini, usia pensiun ditetapkan 56 tahun. Namun pada 1 Januari 2019 usia pensiun akan menjadi 57 tahun. Selanjutnya, setiap 3 tahun usia pensiun akan bertambah satu tahun, sampai usia pensiun maksimal mencapai 65 tahun. Penambahan ini disesuaikan dengan trend usia harapan hidup manusia di dunia yang cenderung bertambah dewasa ini.
Nah, menghadapi usia pensiun yang oleh sebagian orang dianggap “menakutkan”, jauh-jauh hari pekerja perlu mempersiapkan diri. Saat yang tepat adalah di usia 40 tahunan, karena umumnya di masa-masa itu merupakan usia paling produktif dan matang, sehingga penghasilannya juga terus meningkat.
Namun, jika memang tak punya kesiapan yang cukup, apalagi belum memiliki rumah, maka pekerja bisa memanfaatkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2015 sebagai perubahan atas PP No 46 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT).
PP 60/2015 hanya menambah beberapa pasal dari PP 46/2015. Dalam PP 46/2015 disebutkan bahwa JHT dapat dicairkan bila peserta telah mencapai usia pensiun (56), mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Pembayaran JHT dilakukan sekaligus berdasarkan nilai akumulasi iuran ditambah hasil pengembangannya.
Revisi PP itu dilakukan setelah pemerintah mempertimbangkan kondisi ketenagakerjaan nasional dan mengakomodasi asipirasi yang berkembang di masyarakat. Karena itu, PP 60/2015 menyebutkan bahwa peserta yang berhenti kerja (mengundurkan diri atau kena PHK) juga bisa mencairkan JHT meski belum mencapai usia pensiun.
PP 60/2015 kemudian dijabarkan melalui Peraturan Menaker No.19/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. Permen tersebut menjelaskan, bagi yang berhenti kerja klaim JHT harus diajukan setelah melewati masa tunggu sebulan sejak terbitnya surat pemberhentian dari perusahaan. Mereka bisa mencairkan seluruh JHT-nya meski kesepertaannya belum 10 tahun. Pembayaran JHT dilakukan sekaligus berdasarkan nilai akumulasi iuran ditambah hasil pengembangannya.
Di pasal lain, PP 60/2015 menjelaskan, peserta yang belum mencapai usia pensiun dapat mengambil sebagian JHT dengan syarat kepesertaannya minimal 10 tahun. Mereka bisa mencairkan paling banyak 30% dari saldo JHT untuk kepentingan perumahan, atau maksimal 10% untuk keperluan lain, khususnya mempersiapkan diri memasuki pensiun. Pengambilan sebagian JHT tersebut hanya dapat dilakukan sekali.
Kemudahan dapat mencairkan JHT 30 % untuk kepentingan perumahan atau 10% untuk kepentingan lainnya, tentu dimaksudkan agar JHT tidak dinikmati dan dihabiskan di usia produktif. Sehingga sebagian besar JHT tetap tersimpan sebagai bekal pekerja di masa tua.
Terkait perumahan, pekerja juga mendapat kemudahan lain, yaitu pinjaman uang muka perumahan (PUMP) dan kredit pemilikan rumah (KPR) dengan bunga rendah. Kemudahan itu diberikan agar pekerja saat pensiun kelak telah memiliki rumah, sehingga kehidupannya akan tenang.
“Sejauh ini KPR yang sudah disalurkan kepada peserta BPJS Ketenagakerjaan untuk 500 unit rumah dengan nilai sekitar Rp180 miliar. Penyalurannya tersebar di seluruh Indonesia,” kata Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Agus Susanto.
Penyesuaian
Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun yang diatur dalam PP No. 45/2015, besaran iuran 3% akan ditinjau secara periodik dan disesuaikan secara bertahap, hingga mencapai angka yang ideal di kisaran 8%, agar manfaat yang diberikan kepada pekerja lebih optimal. Batas upah dan manfaat JP juga akan disesuaikan setiap tahunnya.
Tahun 2015, batas upah maksimal yang digunakan sebagai dasar perhitungan ditetapkan sebesar Rp7 juta. Mulai 2017, BPJS TK menyesuaikan batas upah maksimal untuk perhitungan program JP naik jadi Rp7.703.500. Batas upah maksimal ini setiap tahun akan disesuaikan berdasarkan pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto.
Batas maksimal pemberian manfaat JP juga akan disesuaikan berdasarkan tingkat inflasi tahun sebelumnya. Untuk tahun 2017 ini, manfaat maksimal yang dibayarkan kepada peserta sebesar Rp3.833.000, dengan batas bawah paling sedikit Rp319.450/bulan.
Untuk itu, perusahaan wajib melaporkan upah yang sebenarnya sebagai dasar untuk menghitung manfaat JP bagi pekerja yang memasuki masa pensiun. Pasalnya, upah yang dilaporkan kepada BPJS TK sangat menentukan besaran manfaat yang akan diterima pekerja nanti saat pensiun.
Manfaat program JP sangat besar bagi pekerja dan ahli warisnya. Jika pekerja meninggal dunia, manfaat JP akan turun ke ahli waris yang sah (janda/duda dan anak). Jika janda/duda itu meninggal dunia, manfaat JP akan diteruskan kepada anaknya, sampai anak tersebut menikah, bekerja, atau berusia 23 tahun.
Hanya mengandalkan uang pensiun rasanya tidak akan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup, apalagi jika harga-harga mengalami kenaikan. Cara lain untuk mencukupinya adalah mengikuti pelatihan wirausaha mandiri di BLK (Balai Latihan kerja) atau milik swasta, misalnya membuka warung atau usaha kuliner yang kini marak.
Tapi ini juga perlu biaya. Solusi yang tepat pekerja harus menabung sebagai persiapan membuka usaha mandiri. Pendidikan anak juga perlu dipacu supaya bisa mendapat bea siswa. Bila ini dapat dilaksanakan, kesejahteraan pekerja setelah pensiun dapat dirasakan dengan baik.**Purwanto.