Semarang, Maritim
Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan aturan dan keputusan membebaskan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% yang sangat membebani para pelaku usaha di sektor ini.
“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah mengeluarkan rekomendasi. Dirjen Pajak juga sudah mengeluarkan rekomendasi. Lalu harus menunggu apa lagi. Saya pikir Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus segera merealisasikan terbitnya aturan soal pembebasan PPN 10% tersebut,” kata Ketua Umum ADUPI, Christine Halim, saat menerima kunjungan kerja Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan rombongan ke pabrik pengolahan daur ulang plastik PT Cahaya Surya Plasindo, di kompleks Kawasan Industri Terboyo, Semarang, Jawa Tengah, kemarin.
Kunjungan kerja kali ini dipimpin oleh Sesdirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin, Taufiek Bawazier. Didamping Direktur Kimia Hilir Kemenperin, Teddy C Sianturi, jajaran Disperindag dan para KSO.
Saat diskusi, Christine menjelaskan, pemberlakuan PPN 10% ini sangat terlalu tinggi. Sehingga pajak yang harus ditanggung oleh pelaku usaha daur ulang plastik cukup membebani.
Pemberlakuan PPN 10% ini akibat jual beli bahan baku plastik olahan dari para pengepul. Imbasnya, harga jual plastik yang diproduksi oleh para pengusaha daur ulang plastik di atas harga keekonomiannya. Karena hampir sebanding dengan harga plastik murni tanpa campuran. Hal ini tentunya akan menurunkan minat para pembeli untuk membeli produk plastik daur ulang.
“Harga plastik daur ulang itu ada batas tertingginya yakni harga harus dibawah plastik murni di pasaran. PPN membebani kami karena pengepul dan pemulung tidak punya vaktur pajak. Bahkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) jadi dibebankan pada harga jualnya. Kami meminta pemerintah segera membebaskan PPN untuk daur ulang plastik dari hulu hingga hilir,” desak Christine.
Karena, tambahnya, industri daur ulang plastik ini berkontribusi terhadap lingkungan hidup dan juga menyerap tenaga kerja yang cukup signifikan. Sehingga sektor ini pantas disebut sektor padat karya.
“Untuk itu sudah selayaknya industri ini mendapatkan prioritas khusus dalam pajak dengan membebaskan PPN. Apalagi, Dirjen Pajak serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah mengeluarkan rekomendasi,” urainya.
Christine membandingkannya dengan industri plastik lainnya yang menggunakan bahan baku murni. Di mana sebagian besarnya diimpor.
“Produk dari hasil pengolahan plastik murni akan akan menambah beban lingkungan secara nasional. Karena dari segi kuantiti, volume plastik di dalam negeri akan bertambah. Hal ini berbeda dengan daur ulang plastik, yang bahan bakunya didapat dari volume yang sudah ada tanpa menambah kuantiti,” ujarnya.
Selain itu, pengurus ADUPI lainnya, Ngadi Ismanto, meminta PLN juga jangan sering melakukan pemadaman, karena sangat merugikan saat melakukan proses produksi.
“Industri daur ulang plastik ini harus dilindungi dan diprioritaskana dalam pajak. Karena industri ini turut menjaga lingkungan dengan sistem daur ulangnya serta menyerap tenaga kerja yang banyak.
Sedangkan Sesdirjen IKTA Kemenperin, Taufiek Bawazier, mengatakan sejauh ini kontribusi industri daur ulang cukup signifikan. Karena bisa menetralisir lingkungan.
“Jika ada masalah segera dilakukan identifikasi. Kalo perlu buat Sistem Daur Ulang Indonesia. Sehingga ADUPI memiliki data base yang kuat,” kata Taufiek.
Sementara Direktur Industri Kimia Hilir Kemenperin, Teddy C Sianturi, menambahkan pihaknya akan meneruskan permintaan ADUPI untuk pembebasan PPN 10% ini.
“Namun sebelum itu hendaknya pihak ADUPI melakukan kajian terlebih dahulu dengan melibatkan LPEM UI,” pungkas Teddy.
Sebelum itu, rombongan Kemenperin berdiskusi dan melihat dari dekat pabrik terpal di bilangan Ungaran, Jawa Tengah. Perusahaan ini memperoleh Biaya Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) untuk impor bahan baku. (M Raya Tuah)