Jakarta, Maritim
Sepuluh industri pengolahan garam menyatakan komitmen menyerap produksi petambak garam dari berbagai wilayah sentra garam rakyat di seluruh Indonesia. Komitmen dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) dengan 100 petambak garam itu dilakukan setelah realisasi impor garam sebanyak 3,046 juta ton, dari total kuota 2018 sebanyak 3,7 juta ton, jadi polemik di masyarakat.
Kemenperin, Kamis (5/4), memfasilitasi MoU tersebut. Sebagai salah satu upaya mengoptimalkan penyerapan garam hasil produksi dalam negeri. Di mana targetnya sebanyak 1,43 juta ton pada 2018.
Tahap awal, sebanyak 10 industri pengolahan garam komit menyerap garam dalam negeri sebesar 964.500 ton, yang berasal dari 100 petani garam lokal. Ke 10 industri pengolahan garam yang teken MoU adalah Sumatraco Langgeng Makmur dan Susanti Megah, Budiono Madura Bangun Persada dan Niaga Garam Cemerlang. Lalu Unichem Candi Indonesia, Cheetam Garam Indonesia, Saltindo Perkasa, Kusuma Tirta Perkasa, Garindo Sejahtera Abadi dan Garsindo Anugerah Sejahtera.
Kemenperin mencatat, kebutuhan garam nasional pada 2018 diperkirakan sebanyak 4,5 juta ton, terdiri kebutuhan industri 3,7 juta ton dan konsumsi 800.000 ton. Sementara itu, untuk mendukung kelanjutan produksi di sektor industri, pemerintah telah menerbitkan izin impor garam industri tahun ini sebesar 3,016 juta ton.
Menperin, Airlangga Hartarto, mengatakan pemerintah mendorong pengembangan beberapa klaster penghasil garam di dalam negeri. Di mana, salah satunya punya potensi di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hal lain, dengan kinerja industri aneka pangan yang tumbuh cukup tinggi, dapat memacu peningkatan produktivitas petani garam dalam negeri.
Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA), Achmad Sigit Dwiwahjono, menyampaikan penyerapan sebanyak 1,43 juta ton garam rakyat itu berasal dari Jawa Barat. Meliputi Cirebon, Indramayu dan Karawang. Jawa Tengah dari Demak, Jepara, Rembang dan Pati.
Jawa Timur dari Sumenep, Pamekasan, Sampang, Bangkalan dan Surabaya. Sulawesi Selatan dari Takalar dan Jeneponto. Nusa Tenggara Barat dari Bima dan Nusa Tenggara Timur dari Nagekeo dan Kupang.
Ditambahkan, kerja sama ini tidak hanya sampai pada penyerapan garam produksi dalam negeri saja, tapi Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) juga komitmen membantu dalam peningkatan kualitas garam produksi dalam negeri.
Ketua Umum AIPGI, Tony Tanduk, mengatakan sampai kini belum ada garam impor yang masuk.
Karena untuk masuk membutuhkan waktu paling tidak empat minggu. Tapi masing-masing industri pengguna sudah mengajukan permohonan.
“Mereka mungkin sudah mengajukan, tapi garam itu tidak bisa pesan sekarang, karena butuh 3-4 minggu. Apalagi, masuknya garam impor ini tergantung dari proses pengiriman dari negara asal ke Indonesia,” katanya.
Saat ini, stok garam di industri semakin menipis.
Dikatakan, kesepakatan ini bertujuan untuk menyerap garam petani. “Poin utama garam nasional diserap. Karena ini permasalahan yang bikin ribut di mana-mana,” ungkap Tony.
Sedangkan Ketua Aliansi Masyarakat Garam Indonesia, Ubait, menjelaskan produksi petambak garam memang tidak cukup spesifikasinya untuk garam industri.
“Namun kami minta komitmen industri pengolahan garam agar menyerap secara optimal hasil panen pada Juni hingga Oktober 2018 ini. Alasannya, kolaborasi perusahaan dan petambak bakal memajukan industri pergaraman nasional,” katanya. (M Raya Tuah)