WAYAN EKA: PENGEMBANGAN BENOA SESUAI TRI HITA KARANA

Manajemen Pelindo Benoa temui tokoh masyarakat
Manajemen Pelindo Benoa temui tokoh masyarakat

Benoa Bali, Maritim

GENERAL Manager PT Pelabuhan Indonesia III (Persero)/Pelindo III, I Wayan Eka Saputra, dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat, merespon semua keluhan. Pihaknya sangat mengapresiasi berbagai masukan. Menurutnya, pengembangan pelabuhan tetap memperhatikan dan selaras dengan tatanan adat dan budaya Bali. Menurutnya: “Rencana pengembangan Pelabuhan Benoa yang nantinya jadi seluas 143 hektar, menjadi Tourism Hub, hingga mampu menampung kapal-kapal wisata berukuran besar. Kami tak ingin keluar dari pakem Tri Hita Karana, hingga pelabuhan ini tetap sustainable dan memberi manfaat bagi masyarakat”.

Read More

Menjawab kekhawatiran bahwa Pelindo akan membangun hotel, art market yang dapat mematikan usaha serupa. Ia juga berjanji menyiapkan data sesuai permintaan para tokoh hingga ada pemahaman sama tentang rencana pengembangan pelabuhan Benoa. Soal peluang munculnya resiko akibat pengerukan laut dan pengurugan di sekitar pelabuhan, ia berjanji melakukan mitigasi resiko guna meminimalisir resiko yang muncul. Pihaknya juga sangat mengapresiasi keberadaan komunitas nelayan di area pelabuhan dan berjanji akan menyediakan waktu khusus untuk mendengarkan aspirasi mereka

Sebelumnya, analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Pengembangan Pelabuhan Benoa oleh Pelindo III dipermasalahkan sejumlah tokoh masyarakat. Pelindo III juga belum memiliki hasil riset tentang dampak pengerukan alur pelayaran dan kolam Pelabuhan Benoa yang dinilai mengabaikan aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya dan spiritual masyarakat di sekitar pelabuhan kelas 2 ini. Hal itu mengemuka dalam rapat antara GM Pelindo III Wayan Eka Saputra dengan sejumlah pimpinan organisasi yang dimotori Paiketan Krama Bali di kantor Pelindo III, Kamis (13/9).

Ketua Umum Paiketan Krama Bali, Agung Suryawan Wiranatha Ketua Umum Paiketan Krama Bali pertanyakan riwayat keluarnya AMDAL pengembangan pelabuhan Benoa. Ujarnya: “Jika dibilang sudah ada sosialisasi sejak 2013, sosialisasi ke siapa, kapan dan di mana, siapa tim ahli yang membuat AMDAL, di mana pembahasan AMDAL ini dilaksanakan? Datanya harus jelas. Tolong disiapkan data-data itu hingga kami tahu kredibiltas dari Dokumen AMDAL”.

Agung juga pertanyakan batas-batas pengembangan dari 58,2 hektar jadi 143 hektar: “Mari kita teliti bersama luasan wilayah urugan/reklamasi tersebut. Apakah sudah sesuai dengan RTRW Kota Denpasar. Jika ada kelebihan pengurugan, maka siapa yang tanggungjawab ?”.

Di sisi lain, Prof. Ketut Rahyuda menyesalkan potensi hilangnya lokasi untuk kegiatan sosial dan spiritual di Pura di tengah laut. “Tujuan kami ingin memahami rencana jangka pendek, menengah dan panjang dari pihak Pelindo agar sesuai dengan harapan masyarakat. Sedang Ketua Aliansi Masyarakat Pariwisata Bali (AMPB), Gusti Kade Sutawa menilai, kurangnya sosialisasi oleh Pelindo memunculkan pertanyaan di masyarakat. Menurutnya masyarakat Bali sudah kadung alergi dengan reklamasi yang telah jadi momok yang menakutkan.

Aktivis Love Bali Forum, Agus Maha Usadha juga mempertanyakan apakah Pelindo sudah memiliki ijin HPL terhadap lahan hasil pengurugan seluas 85 hektar itu. Agus minta Pelindo agar melengkapi data tentang riwayat pengembangan pelabuhan sejak tahun 1990. Apakah pengembangan sudah sesuai dengan Perda Provinsi Bali dan Kota Denpasar. Sedang Ketua Dewan Koodinasi Nasional Puskor Hindunesia, Ida Bagus Susena mempertanyakan fasilitas yang bakal dibangun di atas lahan hasil pengurugan. Ia berharap, Pelindo mesti memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat, jangan justru mematikan aktivitas masyarakat Bali. Ia berharap, agar ada pemerataan aktivitas bagi pelabuhan lain di Bali seperti Celukanbawang, Padangbai, Tanah Ampo dan Gilimanuk, agar kegiatan ekonomi tak terpusat di Benoa.

Khusus soal dampak bagi nelayan, Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Bali, I Nengah Manumudita minta Pelindo III memperhatikan kearifan lokal daerah pesisir. Menurut Manumudita, kearifan lokal di daerah pesisir itu adalah kehidupan nelayan yang tak boleh terhenti. Paparnya: “Posisi para nelayan sudah sangat lemah. Jangan justru makin lemah dengan adanya pengembangan Pelabuhan Benoa. Para nelayan perlu dikasi lokasi untuk menambatkan jukung mereka karena ini menyangkut kelangsungan hidup mereka dan demi kelestarian sosial budaya Bali”.

Terkait Rencana Induk Pelabuhan (RIP), menurut Direktur Eksekutif Paiketan Krama Bali, Nyoman Merta Harnaga, harus mengacu U.U. Pelayaran No. 17/2008. Menurut Nyoman, RIP, sesuai UU Pelayaran harus memperhatikan RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten/Kota; keserasian dan keseimbangan RIP dengan kegiatan lain di lokasi pelabuhan serta kelayakan dari aspek lingkungan. Nyoman mengkritisi RIP Benoa terutama peruntukan bisnis dan perdagangan. Ini sudah agak menyimpang dengan peran dan fungsi pelabuhan dan sangat berpotensi mematikan peluang ekonomi masyarakat kecil. Ujar pria yang juga Pemimpin Umum Majalah Craddha ini: “Jika nanti dibangun mall, toko souvenir, apartemen, maka ini pasti merampas peluang masyarakat di daratan Bali”.

Mantan Dirut BTDC Nusa Dua, Made Mandra menyesalkan tergerusnya daratan di Nusa Dua dan Tanjung Benoa akibat pengerukan alur pelayaran dan kolam Pelabuhan Benoa. Keluhan ini juga disampaikan Pengurus LPM Tanjung Benoa, I Kadek Duarsa. Ujarnya: “Sudah terjadi abrasi daratan Tanjung Benoa karena lokasi pengerukan laut berjarak kurang dari 50 meter dari bibir daratan Tanjung Benoa. Kami khawatir Tanjung Benoa bisa amblas. Di sisi lain, nelayan di Serangan juga mengeluhkan sedimentasi di Pantai Serangan hampir mencapai ketebalan 1 meter yang menyulitkan nelayan melaut”. ***ERICK ARHADITA

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *