JAKARTA-MARITIM : Peningkatan suhu menyebabkan terjadinya perubahan iklim di berbagai belahan bumi. Seiring dengan menghangatnya suhu dan meningkatnya keasaman perairan laut, stok ikan diprediksi akan bergerak menuju habitat yang lebih sesuai. Indonesia, sebagai negara tropis, diperkirakan akan menghadapi dampak yang lebih parah dibandingkan dengan kawasan lainnya di dunia, terlebih di sektor perikanan.
Sebagai negara penyumbang hampir 7 persen dari produksi ikan global, perubahan iklim dapat mempengaruhi ketahanan pangan, keselamatan nelayan, konservasi dan keanekaragaman hayati, serta perekonomian yang dihasilkan oleh sektor kelautan dan perikanan. Jika kegiatan ekonomi berlanjut seperti biasa, dengan tingkat tekanan penangkapan ikan dan pemanasan laut saat ini, maka hasil perikanan kemungkinan akan menurun dan 80 persen stok dunia jatuh ke status penangkapan berlebih pada pertengahan dekade berikutnya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berusaha untuk menekan perubahan iklim dalam sektor kelautan dan perikanan melalui hasil riset yang dijadikan sebagai policy briefdalam pengambilan keputusan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, stakeholder, hingga masyarakat luas. Untuk itu, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) melalui Pusat Riset Perikanan, bersama IPB University dan Environmental Defense Fund (EDF), menyelenggarakan webinar bertema Membangun Perikanan yang Tangguh Terhadap Perubahan Iklim Seri II: Status Perubahan Iklim Lautan Global dan Pembangunan Perikanan Nasional, pada 11 Februari 2021.
Dalam sambutannya, Kepala BRSDM, Sjarief Widjaja, menuturkan bahwa berdasarkan data The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Tahun 2018, kesempatan untuk mencegah bencana iklim ekstrim yang terjadi karena pemanasan global dengan maksimum kenaikan suhu 1,5°C, ditargetkan dapat terlaksana sebelum tahun 2030. Tersisa waktu 10 tahun bagi seluruh pihak secara global untuk dapat menekan terjadinya perubahan iklim secara drastis.
“Pemanasan global diatas 1,5°C akan menambah risiko bencana alam ekstrim seperti cuaca panas ekstrim, kekeringan parah, banjir yang disebabkan curah hujan ekstrim, dan mencairnya daratan es di kutub utara yang berdampak pada ratusan juta orang di seluruh dunia. IPCC melihat pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C akan membutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh negara untuk perubahan yang cepat, luas dan belum pernah dilakukan sebelumnya di semua aspek kehidupan masyarakat dunia. Sekaligus memastikan kehidupan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan adil,” tutur Sjarief.
Lebih lanjut dikatakan, butuh strategi pengelolaan yang efektif dalam menekan perubahan iklim di sektor kelautan dan perikanan, diantaranya dengan sistem pengumpulan dan monitoring data yang efektif, proses pengelolaan berbasis sains adaptif, harvest control rules yang selaras dengan biomassa stok, dan pertimbangan komponen sosial-ekonomi dan ekosistem yang lebih luas, contohnya pendekatan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem.
“Di dalam sektor kelautan kita mengembangkan ocean based mitigation. Metode mitigasi berbasis laut itu menerapkan tidak hanya bagaimana untuk mereduksi emisi gas kaca, tetapi juga dalam memberikan paradigma yang sederhana kepada nelayan. Salah satunya dengan hilirisasi riset berbasis transformasi digital. KKP memiliki aplikasi Laut Nusantara yang menghadirkan kemudahan dan kecepatan akses informasi Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) serta dilengkapi informasi cuaca laut dalam genggaman nelayan sehingga aktivitas penangkapan ikan lebih efektif dan efisien. Dengan aplikasi Laut Nusantara,” terang Sjarif. (Muhammad Raya)